Penyandang Disabilitas Dihadapkan pada Tuntutan Berat Kasus Kekerasan Seksual di Mataram
Mataram, Nusa Tenggara Barat - I Wayan Agus Suartama, seorang penyandang disabilitas yang didakwa dalam kasus kekerasan seksual, menghadapi tuntutan hukuman 12 tahun penjara dan denda sebesar Rp 100 juta. Tuntutan ini dibacakan oleh Jaksa Penuntut Umum (JPU) dalam sidang yang berlangsung di Pengadilan Negeri Mataram, Senin (5/5/2025).
Jaksa Ricky Febriandi, yang mewakili Kejaksaan Tinggi NTB, meyakini bahwa terdakwa terbukti secara sah dan meyakinkan melanggar Pasal 6 huruf C Undang-Undang Tindak Pidana Kekerasan Seksual (TPKS) juncto UU Nomor 12 Tahun 2022. Dasar tuntutan yang memberatkan ini adalah karena Agus diyakini telah melakukan tindakan pelecehan terhadap lebih dari satu orang. Usai pembacaan tuntutan, Jaksa Ricky menyampaikan kepada awak media bahwa pihaknya menuntut terdakwa Agus dengan pidana penjara selama 12 tahun, disertai denda sejumlah Rp 100 juta.
Sidang tersebut dipimpin oleh Ketua Majelis Hakim Mahendrasmara Purnamajati. Dalam jalannya persidangan terungkap fakta yang cukup memprihatinkan, yaitu bagaimana terdakwa, yang merupakan seorang difabel (tidak memiliki kedua tangan), diduga menggunakan kondisi tersebut sebagai alat untuk memanipulasi dan memperdaya para korbannya. Hal ini menambah kompleksitas kasus dan menjadi pertimbangan tersendiri bagi JPU dalam mengajukan tuntutan.
Tuntutan yang dianggap berat ini, sontak mengejutkan Agus Suartama. Reaksi tersebut disampaikan oleh penasihat hukumnya, Muhammad Alfian Wibawa, setelah sidang selesai. Alfian menyatakan bahwa kliennya terkejut mendengar tuntutan maksimal yang diajukan oleh jaksa. Ia juga mempertanyakan dasar jaksa dalam menuntut hukuman maksimal beserta denda Rp 100 juta, sesuai dengan ancaman maksimal yang tercantum dalam Pasal 6 huruf C UU TPKS. Pihak pengacara akan mempelajari lebih lanjut mengenai tuntutan tersebut untuk mempersiapkan pembelaan yang optimal bagi kliennya.
Kasus ini menjadi sorotan publik, terutama karena melibatkan seorang penyandang disabilitas sebagai terdakwa. Hal ini memunculkan perdebatan mengenai bagaimana hukum seharusnya ditegakkan dengan mempertimbangkan kondisi individu, namun tetap menjamin keadilan bagi para korban kekerasan seksual.