Jakarta: Mengurai Benang Kusut Sejarah Banjir dan Penanganan yang Tertinggal
Jakarta, kota metropolitan yang dinamis, menyimpan catatan kelam tentang banjir yang seolah tak pernah usai. Persoalan ini bukan fenomena baru, melainkan sebuah ironi yang telah mewarnai sejarah kota selama puluhan tahun. Meski menjadi masalah kronis, perhatian serius dari pemerintah terhadap penanggulangan banjir baru muncul pada pertengahan dekade 1960-an.
Sebelum periode tersebut, fokus utama pemerintah lebih tertuju pada pembangunan proyek-proyek monumental yang menjadi simbol kekuasaan di bawah kepemimpinan Presiden Soekarno. Akibatnya, upaya penanganan banjir yang bersifat struktural cenderung terabaikan. Sistem pengairan yang dirancang oleh Willem Johan van Blommestein pada tahun 1948 tidak mengalami perkembangan signifikan.
Prioritas pemerintah saat itu lebih condong pada pembangunan Gelora Bung Karno, sebuah proyek ambisius yang sayangnya harus mengorbankan Kampung Senayan. Penggusuran ini memaksa warga untuk mencari tempat tinggal baru di daerah-daerah resapan air seperti Kemang dan Tebet, yang justru memperburuk potensi banjir.
Ledakan populasi yang drastis, dari 1,7 juta jiwa pada tahun 1952 menjadi lebih dari dua kali lipat pada tahun 1965, semakin memperparah situasi. Pertumbuhan kota yang tidak terkendali menyebabkan urbanisasi liar yang merambah lahan-lahan resapan dan bantaran sungai. Akibatnya, ruang untuk air semakin menyempit dan risiko banjir meningkat secara signifikan.
Titik balik terjadi pada tahun 1965, ketika pemerintah membentuk Komando Proyek Pencegahan Banjir (Kopro Banjir). Tim gabungan yang terdiri dari insinyur sipil, personel militer, dan kepolisian ini mulai melakukan pengerukan sungai, penataan bantaran, dan pembangunan waduk. Mereka juga menyusun Pola Induk Tata Pengairan Jakarta Raya, sebuah rencana ambisius yang berorientasi pada jangka waktu 20 tahun ke depan.
Namun, sayangnya, banyak aspek dari rencana ini yang tidak dapat direalisasikan karena keterbatasan anggaran. Memasuki era 1970-an, penanganan banjir dialihkan menjadi proyek sipil melalui Proyek Pengendalian Banjir Jakarta Raya (PBJR). Fokusnya diperluas hingga mencakup wilayah Bekasi dan Cikarang, dengan tujuan mengelola hutan lindung dan danau yang seharusnya berfungsi sebagai kolam retensi air.
Pada tahun 1973, dukungan internasional datang melalui Inter-Governmental Group on Indonesia (IGGI), yang dipimpin oleh Belanda. Mereka memberikan hibah sebesar 1 juta dolar AS dan tim konsultan NEDECO. Hasilnya adalah Master Plan for Drainage and Flood Control of Jakarta, yang mengusung gagasan untuk memperkuat dan memperluas Kanal Banjir Barat serta membangun Kanal Banjir Timur.
Namun, pertumbuhan Jakarta yang sangat pesat membuat rencana tersebut selalu tertinggal. Banyak bagian dari Kanal Banjir Barat yang belum selesai dibangun. Bahkan di muara Kali Angke, yang kini menjadi kawasan padat permukiman, sedimentasi terus menjadi ancaman serius.
Ironisnya, kawasan yang dulu direncanakan sebagai daerah resapan air, seperti rawa-rawa di utara, justru berkembang menjadi pemukiman elit Pantai Indah Kapuk. Kanal baru seperti Cengkareng Drain dibangun menembus kawasan tersebut sebagai bentuk penyesuaian terhadap ekspansi kota yang tak terkendali.
Kanal Banjir Timur, yang telah dirancang sejak tahun 1973, baru mulai dibangun pada tahun 2002 dan selesai pada tahun 2010. Membutuhkan waktu hampir empat dekade untuk mewujudkan gagasan tersebut, salah satunya karena kompleksitas urusan pembebasan lahan.
Sejumlah proyek lain seperti Cakung Drain juga hadir sebagai solusi parsial, namun belum mampu mengatasi banjir tahunan yang terus menghantui Jakarta. Kombinasi antara pertumbuhan fisik kota yang tak terkendali dan lambatnya pembangunan infrastruktur air membuat Jakarta terus dihantui oleh genangan air.
Warisan kanal-kanal yang telah dirancang dan digagas selama lebih dari setengah abad, hingga kini belum mampu membendung air yang terus mencari celah untuk meluap di Jakarta. Sejarah panjang penanganan banjir di Jakarta adalah cerminan dari kompleksitas permasalahan perkotaan dan tantangan dalam mewujudkan solusi yang berkelanjutan.