Tradisi Perpisahan Haru: Mengantar Jemaah Haji, Warisan Sejak Zaman Kolonial
Mengantar jemaah haji telah menjadi tradisi yang mengakar kuat di Indonesia sejak era kolonial. Pemandangan haru terlihat di asrama haji dan pelabuhan, di mana keluarga, kerabat, dan tetangga berkumpul untuk melepas keberangkatan calon haji ke Tanah Suci.
Tradisi ini berakar dari masa lalu ketika perjalanan haji merupakan sebuah pengorbanan besar. Sebelum adanya transportasi udara, menunaikan ibadah haji membutuhkan waktu berbulan-bulan melalui jalur laut dan darat. Kondisi ini menjadikan perjalanan haji sebagai momen perpisahan yang panjang dan penuh ketidakpastian.
Sejarah Panjang Tradisi Mengantar
Menurut catatan sejarah, para calon jemaah haji zaman dahulu biasanya mengadakan walimatus safar atau selamatan sebelum berangkat. Upacara perpisahan ini menjadi ajang saling memaafkan antara calon haji dengan keluarga, kerabat, dan tetangga. Kemudian, mereka akan mengantarkan calon jemaah hingga ke pelabuhan.
Upacara perpisahan ini bukan hanya sekadar formalitas, tetapi juga bentuk penghormatan kepada calon jemaah haji yang akan menempuh perjalanan jauh dan penuh risiko. Masyarakat menyadari bahwa perjalanan haji bisa menjadi perjalanan terakhir bagi seseorang, sehingga momen perpisahan diisi dengan doa dan harapan agar calon haji selamat dan dapat kembali ke tanah air.
Perjalanan ke Mekkah pada masa lalu penuh dengan tantangan. Jemaah haji harus menghadapi ombak besar, angin kencang, dan risiko kapal karam. Tidak sedikit jemaah yang meninggal dunia karena kelelahan, penyakit, atau kecelakaan di laut. Selain itu, pencurian juga menjadi ancaman bagi para jemaah yang membawa bekal berharga.
Keterbatasan transportasi dan kondisi perjalanan yang berat membuat perjalanan haji memakan waktu minimal enam bulan, bahkan bisa bertahun-tahun. Banyak jemaah yang kehabisan bekal di tengah jalan dan terpaksa bekerja atau meminjam uang untuk melanjutkan perjalanan. Tidak sedikit pula yang tidak dapat kembali ke tanah air.
Stasiun dan Pelabuhan Jadi Saksi Bisu
Pada akhir abad ke-19, suasana desa menjadi semarak setiap kali ada warga yang akan berangkat haji. Seluruh penduduk desa, tua maupun muda, ikut serta dalam prosesi pelepasan. Stasiun kereta api dan pelabuhan menjadi saksi bisu momen perpisahan yang penuh haru.
Ismail bin Hadji Abdoellah Oemar Effendi, seorang penulis awal abad ke-20, menggambarkan suasana haru saat melepas jemaah haji di Pelabuhan Belawan, Medan. Ratusan pengantar berdiri di dermaga, meneteskan air mata, dan memberikan pelukan terakhir. Tangisan anak-anak yang tidak ingin berpisah dari orang tuanya menambah suasana pilu.
Bupati Wiranatakoesoema dari Bandung mencatat bahwa jumlah pengantar haji pada tahun 1925 jauh lebih banyak daripada jumlah calon jemaah. Stasiun kereta api penuh sesak, sehingga disediakan tiga gerbong tambahan khusus untuk para pengantar. Hal ini menunjukkan bahwa berhaji pada masa itu merupakan kebanggaan kolektif yang dirayakan oleh seluruh komunitas.
Tradisi mengantar jemaah haji bukan sekadar ritual, tetapi juga mengandung makna sosial yang mendalam. Haji pada masa lalu merupakan simbol kemuliaan, pencapaian hidup, dan berkah bagi keluarga. Oleh karena itu, pelepasan jemaah haji dipenuhi dengan emosi, doa, dan harapan.
Masyarakat tempo dulu memahami bahwa perjalanan haji adalah perjalanan spiritual dan fisik yang berat, bahkan bisa menjadi perjalanan terakhir. Risiko tinggi, lamanya waktu, serta keterbatasan teknologi transportasi membuat banyak keluarga melepas sanak saudaranya dengan perasaan haru dan cemas. Tradisi ini terus berlanjut hingga kini, menjadi bagian tak terpisahkan dari budaya haji di Indonesia.