Status Penyelenggara Negara Direksi BUMN dalam Sorotan: KPK dan Kejaksaan Agung Lakukan Kajian Mendalam

Implikasi UU BUMN Terbaru: Status Hukum Direksi BUMN dalam Pengawasan KPK dan Kejaksaan Agung

Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) Nomor 1 Tahun 2025, yang merupakan perubahan ketiga atas UU Nomor 19 Tahun 2003, telah memicu perdebatan mengenai status jajaran direksi BUMN. Pasal 9G dalam undang-undang tersebut secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara. Hal ini mendorong Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dan Kejaksaan Agung (Kejagung) untuk melakukan kajian mendalam terkait implikasi hukum dari perubahan tersebut.

Menteri BUMN, Erick Thohir, sebelumnya telah melakukan pertemuan dengan pimpinan KPK untuk membahas sinkronisasi penegakan hukum pasca-pengesahan UU BUMN yang baru. Erick menekankan pentingnya kesepahaman yang efektif dalam menjalankan undang-undang yang baru, mengingat adanya perubahan dalam penugasan dan pola kerja Kementerian BUMN. Ia juga menyoroti perlunya definisi turunan dari undang-undang yang baru lahir agar implementasinya berjalan lancar.

Pihak KPK, melalui Juru Bicara Tessa Mahardhika, menyatakan bahwa lembaga tersebut akan menjalankan undang-undang dan aturan yang ada. Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan KPK akan melakukan kajian untuk melihat sejauh mana aturan baru ini akan berdampak pada penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh KPK. Tessa menambahkan bahwa jika direksi BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara yang dapat ditangani oleh KPK, maka KPK tidak dapat menanganinya, namun upaya lain akan dikaji lebih lanjut.

Kejaksaan Agung juga tengah melakukan pengkajian dan pendalaman terhadap Undang-Undang BUMN yang baru. Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus), Harli Siregar, menegaskan bahwa kejaksaan akan terus mengkaji apakah kewenangan mereka masih diatur dalam Undang-Undang BUMN. Harli menambahkan bahwa selama terdapat indikasi fraud pada BUMN, penegakan hukum tetap dapat dilakukan. Fraud, yang didefinisikan sebagai tindakan manipulasi yang merugikan individu, organisasi, atau pihak ketiga, dapat menjadi pintu masuk bagi aparat penegak hukum (APH) untuk melakukan penyelidikan lebih lanjut.

Menurut Harli, jika terdapat persekongkolan, permufakatan jahat, atau tipu muslihat yang menyebabkan BUMN menerima aliran dana dari negara, maka hal tersebut dapat memenuhi unsur-unsur tindak pidana korupsi. Penyelidikan akan dilakukan untuk melihat apakah dalam suatu peristiwa yang terjadi di BUMN terdapat tindak pidana fraud dan unsur aliran uang negara yang terkait dengan kegiatan atau operasi BUMN. Temuan tersebut akan menjadi dasar bagi APH untuk melakukan penelitian lebih jauh.

Implikasi dari perubahan status direksi BUMN ini masih menjadi sorotan dan terus dikaji oleh berbagai pihak. Kepastian hukum dan penegakan hukum yang efektif menjadi kunci dalam menjaga tata kelola BUMN yang baik dan mencegah terjadinya praktik korupsi.