Ancaman Resesi Bayangi Kelas Menengah Indonesia: Terjebak Antara Harapan dan Realitas Ekonomi
Kondisi ekonomi yang kurang stabil menempatkan kelas menengah Indonesia pada posisi yang sulit. Sektor manufaktur dan otomotif yang lesu, pendapatan yang stagnan, dan beban fiskal yang meningkat, menciptakan kombinasi yang berpotensi mengancam stabilitas sosial dan ekonomi mereka. Tanpa adanya langkah-langkah kebijakan yang tepat, kelas menengah, terutama di kota-kota besar, bisa terjerumus menjadi kelompok yang rentan terhadap kemiskinan dan ketidakpastian. Gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di sektor manufaktur menjadi salah satu indikator yang mengkhawatirkan.
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat bahwa sektor pertanian, perdagangan, dan industri pengolahan menjadi penyerap tenaga kerja utama di Indonesia. Namun, industri padat karya, terutama manufaktur dan otomotif, tengah menghadapi tekanan akibat kondisi ekonomi global dan domestik. Penurunan penjualan kendaraan bermotor menjadi sinyal resesi di sektor otomotif. Penjualan mobil dan motor mengalami penurunan signifikan, bahkan pasar mobil bekas pun mengalami penurunan menjelang Lebaran 2025. Kondisi ini berdampak pada rantai pasok industri otomotif yang melibatkan jutaan tenaga kerja. Akibatnya, setiap penurunan penjualan berpotensi memicu PHK massal. Kekhawatiran serupa juga menghantui sektor manufaktur, dimana banyak perusahaan yang terpaksa mengurangi produksi atau bahkan berhenti beroperasi akibat permintaan global yang lesu. Data BPS menunjukkan bahwa puluhan ribu pekerja telah kehilangan pekerjaan pada awal tahun 2025.
Tekanan bunga kredit yang tinggi dan kenaikan pajak semakin memperlemah daya beli masyarakat. Konsumen cenderung menunda pembelian barang-barang, termasuk kebutuhan sekunder. Hal ini membuat kelas menengah di kota-kota besar berisiko kehilangan sumber pendapatan utama dan terancam jatuh ke lapisan pendapatan yang lebih rendah. Sektor-sektor yang menciptakan lapangan kerja kini cenderung didominasi oleh pekerjaan informal dengan gaji rendah. Meskipun sektor pertanian, perdagangan ritel, dan industri pengolahan menyerap banyak tenaga kerja, upah rata-rata di sektor-sektor ini rendah dan kondisi kerjanya tidak stabil. Data BPS juga menunjukkan bahwa jumlah pencari kerja selalu lebih tinggi dibandingkan dengan jumlah lowongan yang tersedia. Ketidakseimbangan ini menunjukkan kurangnya peluang kerja formal yang berkualitas, terutama bagi generasi muda. Banyak lulusan perguruan tinggi terpaksa menerima pekerjaan paruh waktu atau bergaji rendah di sektor informal, memperlebar kesenjangan kualitas pekerjaan dan memunculkan fenomena precariat di kalangan kelas menengah, yaitu pekerja berpendapatan tidak stabil dan tanpa jaminan sosial.
Selain itu, masyarakat kelas menengah juga mengalami stagnasi pendapatan. Rata-rata upah buruh pada Februari 2025 hanya mencapai Rp 3,09 juta per bulan, meningkat tipis dibandingkan tahun sebelumnya. Angka ini jauh dari cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup layak di kota besar. Survei Biaya Hidup menunjukkan bahwa rumah tangga di Jakarta membutuhkan sekitar Rp 14,88 juta per bulan untuk mempertahankan standar hidup yang layak. Dengan demikian, pendapatan pekerja berpendidikan tinggi pun masih jauh dari mencukupi kebutuhan hidup di kota besar. Inflasi di Jakarta juga terus meningkat, terutama akibat kenaikan tarif listrik dan kebutuhan rumah tangga lainnya.
Generasi Z, yang mendominasi kelas menengah Indonesia berdasarkan pendapatan, paling merasakan dampak dari tekanan ekonomi ini. Dengan usia 18-27 tahun dan penghasilan yang relatif rendah, mereka menghadapi kesenjangan besar antara harapan dan realitas ekonomi. Beban biaya hidup yang terus meningkat, tanpa adanya kompensasi yang memadai dari negara, membuat banyak keluarga kelas menengah kesulitan untuk meningkatkan kondisi finansial mereka dan rentan terjerumus ke dalam kemiskinan baru.
Perlambatan ekonomi global dan domestik menuntut pemerintah untuk lebih serius dalam melindungi kelas menengah, selain memperhatikan kelompok miskin dan rentan. Tujuan utama perlindungan ini adalah untuk mencegah kelas menengah jatuh ke dalam kategori rentan miskin, sehingga tidak memperburuk struktur sosial Indonesia. Data BPS menunjukkan bahwa jutaan orang kelas menengah telah mengalami penurunan status sosial-ekonomi dalam beberapa tahun terakhir. Tekanan fiskal tanpa adanya stimulus pertumbuhan ekonomi dapat memperburuk kondisi ini. Kebijakan fiskal seharusnya diarahkan untuk menumbuhkan konsumsi dan investasi produktif yang mampu menciptakan lapangan kerja yang berkualitas. Berbagai instrumen seperti bantuan pelatihan kerja, subsidi usaha kecil, atau insentif pajak bagi pemberi kerja yang merekrut tenaga terdidik dapat memperkuat ketahanan kelas menengah di tengah krisis. Tanpa adanya arah kebijakan yang jelas dan berpihak pada rakyat kelas menengah, risiko penurunan sosial-ekonomi akan terus mengintai. Kelas menengah, sebagai pilar stabilitas ekonomi nasional, membutuhkan dukungan nyata, bukan hanya sekadar janji. Menjaga optimisme generasi muda, memperkuat daya beli keluarga, dan menciptakan lapangan kerja berkualitas adalah kunci untuk memastikan bahwa krisis saat ini tidak berujung pada kemiskinan massal di masa depan.