Usulan Vasektomi sebagai Syarat Bansos di Jawa Barat Tuai Kecaman Anggota DPR: Pelanggaran HAM dan Etika

Anggota Komisi VIII DPR RI, Pangeran Khairul Saleh, baru-baru ini melontarkan kritik keras terhadap usulan yang mewajibkan vasektomi sebagai syarat bagi penerima bantuan sosial (bansos) di Jawa Barat. Menurutnya, kebijakan kontroversial ini tidak hanya melanggar etika, tetapi juga berpotensi melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).

Khairul Saleh menegaskan bahwa bansos merupakan hak konstitusional warga negara yang tidak dapat dikaitkan dengan prosedur medis pribadi dan permanen seperti vasektomi. Ia berpendapat bahwa usulan tersebut mengabaikan prinsip-prinsip hukum dan kemanusiaan yang mendasar.

"Bansos adalah hak dasar warga negara yang seharusnya diberikan tanpa syarat yang melanggar privasi dan hak tubuh individu," ujarnya.

Politisi dari Partai Amanat Nasional (PAN) ini menjelaskan bahwa meskipun vasektomi adalah metode pengendalian kelahiran yang sah secara medis, pelaksanaannya harus didasarkan pada pilihan pribadi dan sukarela, bukan sebagai paksaan atau prasyarat untuk mendapatkan bantuan pemerintah.

"Mengaitkan vasektomi dengan hak dasar seperti bansos adalah bentuk pelanggaran HAM yang serius. Ini sama saja dengan memaksa seseorang untuk menjalani prosedur medis demi memenuhi kebutuhan dasar," tegasnya.

Khairul Saleh juga mengingatkan akan pengalaman masa lalu, di mana program Keluarga Berencana (KB) pada era Orde Baru dijalankan dengan tekanan administratif yang kuat dan partisipasi publik yang minim. Ia khawatir pendekatan serupa dapat terulang kembali, menimbulkan trauma sosial jangka panjang dan ketidakpercayaan terhadap pemerintah.

"Kita harus belajar dari sejarah. Jangan sampai kebijakan yang seharusnya membantu masyarakat justru menciptakan luka dan ketidakadilan baru," imbuhnya.

Selain menyoroti usulan vasektomi sebagai syarat bansos, Khairul Saleh juga mengkritik program-program kedisiplinan berbasis militer yang mulai diterapkan di Jawa Barat. Ia berpendapat bahwa pendekatan ini bertentangan dengan Konvensi Hak Anak dan prinsip-prinsip pendidikan yang humanis.

"Anak-anak berhak tumbuh dalam lingkungan yang mendukung perkembangan mental dan fisik mereka secara utuh, bukan ditanamkan doktrin kekerasan atau kedisiplinan ekstrem," paparnya.

Ia menambahkan bahwa kebijakan militerisasi siswa sekolah melanggar hak-hak anak sebagai bagian dari hak asasi manusia. Mengirim siswa ke barak militer untuk pelatihan, menurutnya, adalah tindakan yang tidak dapat dibenarkan.

Khairul Saleh mendesak pemerintah daerah untuk mengevaluasi kembali kebijakan-kebijakan yang menyangkut moral dan masa depan masyarakat dengan melibatkan berbagai pemangku kepentingan, termasuk tokoh masyarakat, pakar, dan anggota legislatif. Ia mengingatkan agar pemerintah daerah tidak hanya berfokus pada popularitas semata, tetapi juga mempertimbangkan dampak jangka panjang dari setiap kebijakan yang diambil.

"Negara tidak boleh memperlakukan rakyatnya sebagai objek eksperimen kebijakan. Kebijakan harus didasarkan pada kajian yang matang dan mempertimbangkan hak-hak individu," pungkasnya.

Ia juga menekankan pentingnya membina karakter generasi muda melalui pendekatan pendidikan humanis, bukan dengan model yang represif dan mengarah pada militerisme. Anak-anak, menurutnya, bukanlah objek eksperimen kebijakan yang tidak berbasis kajian yang komprehensif.