Temuan Studi Global: Mengapa Indonesia Unggul dalam Kesejahteraan Subjektif?
Di tengah hiruk pikuk global yang terobsesi dengan pertumbuhan ekonomi dan persaingan ketat, Indonesia muncul sebagai sebuah fenomena yang menarik perhatian. Bukan karena pencapaian ekonomi yang luar biasa atau inovasi teknologi, melainkan karena kualitas hidup subjektif warganya yang terbilang tinggi.
Sebuah studi komprehensif bertajuk Global Flourishing Study, yang melibatkan lebih dari 200.000 responden di 22 negara, menempatkan Indonesia di posisi teratas dalam indeks kesejahteraan global. Studi yang diinisiasi oleh Harvard University, Gallup, dan Baylor University ini mengukur kesejahteraan berdasarkan lima dimensi non-finansial, yaitu kebahagiaan, makna hidup, relasi sosial, karakter, dan kesehatan fisik. Hasilnya, Indonesia unggul jauh dibandingkan negara-negara maju yang seringkali dijadikan tolok ukur pembangunan.
Temuan ini menimbulkan pertanyaan mendasar: Bagaimana mungkin sebuah negara yang masih bergulat dengan kemiskinan struktural, kesenjangan akses layanan dasar, dan tantangan sosial-ekonomi yang kompleks, justru memiliki tingkat kepuasan hidup yang tinggi? Bagaimana mungkin, di antara berbagai negara di dunia, Indonesia justru merasa memiliki kehidupan yang utuh dan bermakna?
Paradoks ini menantang asumsi konvensional bahwa kesejahteraan adalah produk langsung dari kemajuan ekonomi. Selama ini, pertumbuhan Produk Domestik Bruto (PDB) seringkali dianggap sebagai indikator utama kemajuan suatu bangsa. Namun, realitas di Indonesia menunjukkan bahwa kesejahteraan tidak selalu berbanding lurus dengan kemewahan materi. Sebaliknya, kesejahteraan justru muncul dari jalinan sosial yang kuat, makna hidup yang mendalam, dan nilai-nilai luhur yang diwariskan dari generasi ke generasi.
Kehidupan komunal, ikatan keluarga yang erat, dan peran agama yang signifikan merupakan pilar-pilar utama yang menopang kesejahteraan subjektif masyarakat Indonesia. Tradisi gotong royong, arisan, dan kegiatan keagamaan menjadi wadah bagi masyarakat untuk saling berinteraksi, berbagi, dan mempererat tali persaudaraan. Nilai-nilai ini mungkin tidak tercermin dalam angka-angka statistik ekonomi, namun memiliki peran penting dalam menjaga keseimbangan batin dan memberikan rasa aman serta kepastian dalam hidup.
Negara-negara maju, meskipun memiliki fasilitas publik yang lengkap dan tingkat pendapatan yang tinggi, seringkali mengalami defisit dalam hal relasi sosial dan makna hidup. Individualisme yang tinggi dan keterasingan sosial menjadi permasalahan yang umum terjadi. Hal ini menunjukkan bahwa pembangunan yang hanya berfokus pada aspek ekonomi dan teknologi, tanpa memperhatikan dimensi sosial dan spiritual, dapat menghasilkan kemajuan yang hampa dan kurang bermakna.
Temuan ini menjadi pengingat bagi para pembuat kebijakan di Indonesia. Dalam upaya mengejar ketertinggalan dan mencapai target-target pembangunan modern, penting untuk tidak melupakan kekayaan batin dan nilai-nilai luhur yang telah menjadi identitas bangsa. Pembangunan infrastruktur fisik harus diimbangi dengan pembangunan "infrastruktur lunak", yaitu ekosistem relasi dan makna yang menjadi fondasi kebahagiaan kolektif.
Pergeseran nilai yang terjadi akibat modernisasi dan globalisasi menjadi ancaman serius bagi kesejahteraan subjektif masyarakat Indonesia. Kompetisi yang menggantikan kolaborasi, logika untung-rugi yang menggeser rasa hormat, dan kehidupan spiritual yang direduksi menjadi ritual kosong dapat menggerus nilai-nilai yang selama ini menjadi perekat sosial. Oleh karena itu, penting untuk menjaga keseimbangan antara kemajuan materi dan kelestarian nilai-nilai tradisional.
Di tengah krisis makna yang melanda dunia modern, Indonesia memiliki potensi untuk menjadi contoh bagi bangsa lain. Bukan sebagai negara terkaya, melainkan sebagai negara yang mampu menjaga keseimbangan antara kemajuan dan kemanusiaan. Indonesia dapat menunjukkan kepada dunia bahwa pembangunan yang berkelanjutan tidak hanya tentang pertumbuhan ekonomi, tetapi juga tentang kesejahteraan sosial, spiritual, dan lingkungan.
Namun, potensi ini tidak akan terwujud dengan sendirinya. Dibutuhkan kesadaran kolektif untuk merawat dan melestarikan nilai-nilai luhur yang telah menjadi warisan budaya bangsa. Pemerintah, masyarakat, dan seluruh elemen bangsa harus bersinergi untuk menciptakan lingkungan yang kondusif bagi pertumbuhan kesejahteraan subjektif. Dengan demikian, Indonesia dapat menjadi mercusuar bagi dunia dalam mencari keseimbangan antara kemajuan dan kebahagiaan.
Momentum ini mengajak kita untuk merefleksikan kembali arah pembangunan yang selama ini kita jalani. Apakah semua yang kita kejar saat ini benar-benar membawa kita menuju kehidupan yang lebih baik? Apakah orientasi pembangunan kita sudah selaras dengan kebutuhan terdalam manusia? Ekonomi memang penting, namun bukan tujuan akhir. Tujuan akhirnya adalah manusia itu sendiri, dengan segala kebutuhan fisik, sosial, dan spiritualnya. Pembangunan yang melupakan hal ini hanya akan menghasilkan kemajuan yang hampa dan tidak berkelanjutan.