Kesetaraan Gender di Puncak Kepemimpinan Perusahaan Jerman: Jalan Panjang Menuju Representasi yang Seimbang
Kesetaraan Gender di Puncak Kepemimpinan Perusahaan Jerman: Jalan Panjang Menuju Representasi yang Seimbang
Penunjukan Petra Scharner-Wolff sebagai CEO Otto Group menandai tonggak sejarah bagi kesetaraan gender di dunia bisnis Jerman. Perusahaan ritel online raksasa ini, yang dulunya terkenal dengan katalognya yang tebal dan berisi beragam produk, kini berada di bawah kepemimpinan seorang perempuan, menandai berakhirnya era kepemimpinan keluarga Otto secara langsung. Namun, keberhasilan ini hanya setitik cahaya di tengah bayangan luasnya kesenjangan gender dalam jajaran kepemimpinan perusahaan di Jerman.
Sebuah laporan dari AllBright Foundation, lembaga nirlaba yang fokus pada kesetaraan gender dan keberagaman di dunia bisnis, mengungkapkan fakta yang mengkhawatirkan. Dari 160 perusahaan besar yang terdaftar di bursa saham Jerman pada Maret 2025, hanya 19,7% dari tim kepemimpinan eksekutif dan 37,4% dari dewan direksi yang diisi oleh perempuan. Angka ini menunjukkan betapa jauhnya Jerman masih harus berjuang untuk mencapai kesetaraan gender di tingkat manajemen puncak. Dari 40 perusahaan di indeks DAX, delapan di antaranya hanya memiliki tiga atau lebih perempuan dalam tim kepemimpinan eksekutif, sementara satu perusahaan bahkan sama sekali tidak memiliki perempuan dalam jajaran manajemen puncaknya.
Wiebke Ankersen, Co-direktur AllBright Foundation, menunjuk pada budaya perusahaan yang konservatif sebagai salah satu faktor penyebab utama. Kurangnya tekanan untuk melakukan perubahan dan kebiasaan operasional yang sudah mapan selama bertahun-tahun menjadi penghalang utama. Selain itu, faktor-faktor struktural seperti kurangnya fasilitas penitipan anak dan norma sosial yang negatif terhadap perempuan yang bekerja penuh waktu, khususnya ibu dengan anak kecil, turut memperparah permasalahan ini. Katharina Wrohlich, kepala Grup Penelitian Ekonomi Gender di Institut Penelitian Ekonomi Jerman (DIW), menambahkan bahwa stereotip gender yang sudah mendarah daging dalam budaya perusahaan juga menjadi penghalang signifikan bagi kemajuan perempuan dalam karier manajerial.
Wrohlich menekankan pentingnya dukungan perusahaan bagi karyawan yang mengambil cuti untuk alasan keluarga, serta memberikan fleksibilitas dalam hal pengaturan jam kerja, termasuk pilihan bekerja paruh waktu. Ia juga menyoroti perlunya perusahaan untuk secara aktif mendorong karyawan, baik pria maupun wanita, untuk kembali bekerja penuh waktu setelah cuti keluarga. Meskipun terdapat beberapa perbaikan dalam dua dekade terakhir, Jerman masih diperkirakan membutuhkan waktu 15 tahun lagi untuk mencapai kesetaraan gender dalam posisi manajemen dan pengambilan keputusan di perusahaan-perusahaan. Hal ini tentu saja merupakan waktu yang terlalu lama, mengingat urgensi untuk mewujudkan kesetaraan gender.
Jerman telah menerapkan dua undang-undang kuota gender sejak 2015 dan 2021, yang mewajibkan persentase minimum perempuan dalam dewan pengawas dan dewan eksekutif perusahaan publik. Namun, aturan ini tampaknya belum cukup efektif untuk mengatasi masalah ini, terutama di perusahaan keluarga. Studi lain dari AllBright Foundation menunjukkan bahwa dari 100 perusahaan keluarga terbesar di Jerman, hanya 12,6% dari tim kepemimpinan eksekutif yang diisi oleh perempuan. Otto Group, dengan penunjukan Petra Scharner-Wolff dan Katy Roewer di dewan eksekutif, menjadi contoh yang relatif positif dalam hal ini, tetapi masih jauh dari representasi yang seimbang.
Uni Eropa juga telah mengambil tindakan dengan aturan serupa untuk mendorong kesetaraan gender dalam posisi kepemimpinan yang akan mulai berlaku pada Juni 2026. Namun, perbedaan kemajuan antar negara anggota Uni Eropa menunjukkan bahwa tantangan kesetaraan gender ini membutuhkan solusi yang holistik dan komprehensif, yang mencakup perubahan budaya, kebijakan publik yang mendukung, dan komitmen yang kuat dari perusahaan-perusahaan itu sendiri untuk menciptakan lingkungan kerja yang inklusif dan adil bagi semua.
Kesimpulan: Penunjukan Petra Scharner-Wolff sebagai CEO Otto Group merupakan langkah positif, tetapi tetap menjadi tantangan yang besar bagi Jerman untuk mencapai kesetaraan gender dalam kepemimpinan perusahaan. Dibutuhkan kerja sama dari berbagai pihak, termasuk pemerintah, perusahaan, dan masyarakat sipil, untuk mengatasi budaya yang diskriminatif, merancang kebijakan yang mendukung, dan menumbuhkan kesadaran akan pentingnya kesetaraan gender di tempat kerja.