Kejanggalan Distribusi Gula: Hakim Pertanyakan Efisiensi Rantai Pasok dalam Sidang Tom Lembong
Majelis hakim dalam persidangan kasus dugaan korupsi impor gula yang menyeret mantan Menteri Perdagangan, Thomas Trikasih Lembong, atau yang lebih dikenal dengan Tom Lembong, menyoroti kompleksitas dan inefisiensi dalam alur distribusi gula hingga sampai ke tangan masyarakat. Pertanyaan mendasar yang diajukan adalah mengapa proses yang seharusnya sederhana ini justru berbelit-belit dan melibatkan banyak pihak.
Dalam sidang yang digelar di Pengadilan Tipikor Jakarta pada Selasa, 6 Mei 2025, hakim anggota Alfis Setyawan mempertanyakan saksi dari Induk Koperasi Kartika (Inkopkar), Letkol Chk H.I.S Sipayung, mengenai mekanisme penyaluran gula impor. Inkopkar, sebagai pihak yang bekerja sama dengan PT Angels Product (pemegang izin impor dari Tom Lembong), ternyata tidak mendistribusikan gula secara langsung kepada masyarakat. Melainkan, mereka menggandeng sejumlah distributor untuk melakukan operasi pasar di berbagai daerah.
Hakim Alfis Setyawan menunjukkan keheranannya dengan menanyakan langsung kepada saksi Inkopkar:
- "Mengapa Inkopkar tidak mendistribusikan gula langsung ke masyarakat, mengingat koperasi memiliki jaringan di seluruh Indonesia, termasuk di batalyon dan kodim?"
- "Kenapa harus melalui transaksi jual beli dengan distributor, bukan koperasi yang mengambil gula dari Angels Product dan mendistribusikannya ke cabang-cabang di seluruh Indonesia untuk operasi pasar?"
Saksi Sipayung menjelaskan bahwa Inkopkar merasa tidak memiliki kapasitas untuk membeli gula dalam jumlah besar. Jawaban ini justru menimbulkan pertanyaan baru bagi hakim. Jika Inkopkar tidak mampu, mengapa mereka mengajukan permohonan penugasan impor kepada Kementerian Perdagangan?
Hakim berpendapat bahwa permohonan penugasan seharusnya didasari oleh keyakinan akan kemampuan untuk melaksanakan tugas tersebut. Alur yang ada saat ini, menurut hakim, terlalu panjang dan melibatkan banyak pihak. Inkopkar bekerja sama dengan Angels Product, kemudian dengan lebih dari 10 distributor. Proses pembayaran juga rumit. Hakim menekankan bahwa gula ini diperuntukkan bagi masyarakat Indonesia, sehingga alurnya seharusnya dibuat lebih sederhana agar tepat sasaran.
Saksi Sipayung berdalih bahwa kerjasama dengan distributor dilakukan atas perintah atasan. Namun, hakim menekankan bahwa sebelum ada penugasan, tentu ada permohonan dari Inkopkar. Jika sejak awal diketahui ada keterbatasan anggaran, seharusnya permohonan tersebut tidak diajukan.
Menanggapi pertanyaan-pertanyaan hakim, Sipayung mengaku tidak tahu menahu mengenai alasan pengajuan permohonan penugasan impor. Ia hanya menjalankan perintah yang diberikan.
Hakim menyayangkan ketidaktahuan saksi dan kembali menegaskan bahwa alur distribusi gula seharusnya bisa dipersingkat. Proses yang terlalu panjang hanya akan memperlambat penyaluran dan berpotensi menimbulkan masalah baru.
Kasus ini bermula dari dugaan keterlibatan Tom Lembong dalam menyetujui impor gula tanpa koordinasi yang memadai dengan lembaga terkait. Jaksa mendakwa Tom Lembong dengan Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 juncto Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHP. Kerugian negara akibat kasus ini diperkirakan mencapai Rp 578 miliar.