UU BUMN Dikritik: Berpotensi Hambat Pemberantasan Korupsi di Perusahaan Plat Merah

Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) menuai kritik tajam dari Indonesia Corruption Watch (ICW). Lembaga anti-korupsi ini khawatir bahwa regulasi baru tersebut justru membuka celah bagi praktik korupsi yang lebih terselubung di lingkungan BUMN. Kekhawatiran utama ICW terletak pada status hukum direksi dan komisaris BUMN yang tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara. Hal ini, menurut mereka, akan mempersulit upaya penegakan hukum dan pemberantasan korupsi di sektor BUMN.

Peneliti ICW, Yassar Aulia, menjelaskan bahwa perubahan definisi ini berpotensi menciptakan impunitas bagi para pelaku korupsi di BUMN. Dengan tidak dianggapnya direksi dan komisaris sebagai penyelenggara negara, maka penyidik akan kesulitan untuk menjerat mereka dengan Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor). UU Tipikor sendiri belum mengakomodasi secara spesifik mengenai penyuapan di sektor swasta, sehingga celah hukum ini dapat dimanfaatkan untuk menghindari jeratan hukum.

Selain itu, UU BUMN yang baru juga memisahkan definisi kerugian BUMN dari kerugian negara. Hal ini semakin memperumit upaya penindakan korupsi karena menghilangkan relevansi dengan UU Tipikor yang mendasarkan pada kerugian negara sebagai salah satu unsur tindak pidana korupsi. ICW saat ini tengah melakukan kajian mendalam bersama organisasi masyarakat sipil lainnya untuk mempertimbangkan pengajuan judicial review atau uji materiil terhadap UU BUMN ke Mahkamah Konstitusi (MK). Mereka meyakini bahwa terdapat sejumlah substansi dalam UU BUMN yang bermasalah secara konstitusional, terutama dalam kaitannya dengan upaya pemberantasan korupsi.

Sorotan terhadap UU BUMN ini muncul karena adanya pasal yang menyatakan bahwa organ dan pegawai BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G UU BUMN secara eksplisit menyatakan hal tersebut. Padahal, UU KPK selama ini mendefinisikan penyelenggara negara sebagai subjek hukum yang dapat ditindak dalam kasus korupsi. Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) sendiri mengakui akan melakukan kajian terhadap penerapan aturan baru dalam UU BUMN tersebut.

Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyatakan bahwa Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan KPK akan menganalisis dampak UU BUMN terhadap kewenangan KPK dalam menangani kasus korupsi yang melibatkan direksi BUMN. Jika direksi BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara, maka KPK tidak dapat menindak mereka berdasarkan UU yang berlaku. Perkembangan ini memunculkan kekhawatiran serius mengenai masa depan pemberantasan korupsi di sektor BUMN dan potensi pelemahan peran KPK dalam memberantas korupsi secara luas.

Daftar Poin Kritik ICW Terhadap UU BUMN

  • Status Hukum Direksi dan Komisaris: Tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara, mempersulit penindakan korupsi.
  • Definisi Kerugian: Pemisahan definisi kerugian BUMN dari kerugian negara, menghilangkan relevansi dengan UU Tipikor.
  • Celah Hukum Penyuapan: UU Tipikor belum mengakomodasi penyuapan di sektor swasta.
  • Potensi Impunitas: Mendorong potensi impunitas bagi pelaku korupsi di BUMN.