Polemik QRIS: Antara Kedaulatan Ekonomi Indonesia dan Tekanan Amerika Serikat

Polemik QRIS: Antara Kedaulatan Ekonomi Indonesia dan Tekanan Amerika Serikat

Hubungan dagang antara Indonesia dan Amerika Serikat baru-baru ini diwarnai dengan isu yang cukup menarik perhatian, yaitu terkait penerapan Quick Response Code Indonesian Standard (QRIS) sebagai sistem pembayaran digital di Indonesia. Pemerintah Amerika Serikat, melalui Kantor Perwakilan Dagang Amerika Serikat (USTR), secara terbuka menyampaikan keberatannya terhadap QRIS. Keberatan ini tertuang dalam laporan "National Trade Estimate (NTE) Report on Foreign Trade Barriers 2025", di mana USTR menganggap QRIS sebagai salah satu hambatan perdagangan digital dan elektronik yang dapat merugikan perusahaan-perusahaan asal AS.

Alasan utama dari keberatan ini adalah kekhawatiran bahwa dengan ditetapkannya QRIS sebagai standar nasional untuk semua pembayaran berbasis kode QR di Indonesia, maka penggunaan layanan pembayaran seperti Visa dan Mastercard, yang notabene merupakan produk perusahaan AS, akan mengalami penurunan. Pemerintah AS juga menyoroti proses penyusunan kebijakan QRIS yang dianggap kurang melibatkan pemangku kepentingan asing, sehingga tidak memberikan kesempatan bagi mereka untuk memberikan masukan.

Namun, benarkah QRIS merupakan hambatan perdagangan yang signifikan bagi perusahaan-perusahaan AS? Pemerintah Indonesia berpendapat bahwa QRIS dirancang khusus untuk memfasilitasi transaksi dalam negeri, terutama transaksi dengan nilai kecil. Sistem ini bertujuan untuk mempermudah dan mempercepat proses pembayaran bagi masyarakat Indonesia. Mengaitkan QRIS dengan hambatan perdagangan internasional, apalagi menjadikannya alasan untuk mengenakan tarif impor yang tinggi terhadap produk Indonesia, dinilai sebagai narasi yang tidak memiliki dasar yang kuat. Kekhawatiran utama dari pihak AS lebih disebabkan oleh potensi persaingan antara QRIS dengan layanan pembayaran yang sudah mapan seperti Visa dan Mastercard.

Perlu ditegaskan bahwa penerapan QRIS di Indonesia tidak serta merta melarang penggunaan Visa dan Mastercard. Layanan pembayaran tersebut masih tetap dapat digunakan oleh masyarakat Indonesia. Perbedaan mendasar antara QRIS dan Visa/Mastercard terletak pada cakupan dan target penggunanya. QRIS lebih fokus pada transaksi domestik dengan menggunakan teknologi kode QR yang dapat diakses melalui smartphone, sementara Visa dan Mastercard lebih berorientasi pada transaksi internasional dengan menggunakan kartu kredit dan debit.

Menjaga Kedaulatan Ekonomi melalui QRIS

Dalam negosiasi dengan Pemerintah AS terkait tarif impor resiprokal, Pemerintah Indonesia perlu mempertahankan posisinya untuk tetap menjaga QRIS sebagai sistem pembayaran digital yang sah di Indonesia. Menghentikan QRIS atas desakan dari pihak AS akan menimbulkan dampak yang signifikan terhadap sistem pembayaran dan keuangan di Indonesia. Ada beberapa argumentasi kuat mengapa Pemerintah Indonesia harus mempertahankan QRIS:

  • Simbol Kedaulatan Ekonomi: QRIS merupakan sistem pembayaran digital yang dikembangkan dan diterbitkan oleh Bank Indonesia (BI), bank sentral Republik Indonesia. Sebagai sistem pembayaran resmi yang diterbitkan oleh negara, QRIS merupakan simbol kedaulatan ekonomi Indonesia yang harus dilindungi dari intervensi asing.
  • Penggunaan yang Masif: Data dari BI menunjukkan bahwa penggunaan QRIS di Indonesia telah sangat luas. Hingga kuartal I 2025, terdapat 56,3 juta pengguna QRIS dan 38,1 juta merchant yang menggunakan QRIS. Volume transaksi QRIS mencapai 2,6 miliar transaksi dengan nilai Rp 262,1 triliun. Menghentikan QRIS akan mengganggu sistem pembayaran yang sudah berjalan dengan baik.
  • Dukungan UMKM: Sebagian besar pengguna QRIS adalah pelaku usaha di sektor UMKM. QRIS menjadi salah satu penggerak utama ekonomi di sektor UMKM, yang merupakan sektor ekonomi terbesar di Indonesia. Peran QRIS dalam menggerakkan UMKM memiliki dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional.

Dengan mempertimbangkan argumentasi tersebut, Pemerintah Indonesia harus memiliki komitmen yang kuat untuk tetap menjaga QRIS sebagai sistem pembayaran digital di Indonesia, meskipun menghadapi tekanan dari Pemerintah AS. Dengan mempertahankan QRIS, kedaulatan ekonomi Indonesia akan tetap terjaga, dan pertumbuhan ekonomi yang berkelanjutan dapat dicapai.