Fenomena Vitrifikasi Otak: Temuan Mengejutkan dari Korban Letusan Gunung Vesuvius di Herculaneum
Fenomena Vitrifikasi Otak: Temuan Mengejutkan dari Korban Letusan Gunung Vesuvius di Herculaneum
Tragedi letusan Gunung Vesuvius pada tahun 79 Masehi telah meninggalkan jejak sejarah yang mendalam, mengubur kota-kota Romawi Pompeii dan Herculaneum di bawah lapisan abu vulkanik. Sebuah penemuan arkeologi yang mengejutkan di Herculaneum, telah membuka babak baru dalam pemahaman kita tentang kekuatan dahsyat letusan gunung berapi dan efeknya terhadap tubuh manusia. Penemuan ini, yang dipublikasikan dalam jurnal Scientific Reports pada 27 Februari 2025, berpusat pada sisa-sisa seorang pria muda yang ditemukan di dalam bangunan Collegium Augustalium, dengan kondisi yang sangat unik: otaknya telah terawetkan dalam bentuk kaca.
Penemuan jenazah tersebut pada tahun 1960-an telah memicu perdebatan panjang di kalangan ilmuwan. Selama bertahun-tahun, substansi kaca di dalam tengkorak korban tersebut menjadi misteri yang membingungkan. Sebagian besar ahli awalnya skeptis, mengingat suhu aliran piroklastik—arus gas panas dan puing-puing vulkanik yang menghancurkan Herculaneum—dianggap tidak cukup tinggi untuk mengubah jaringan organik menjadi kaca melalui proses vitrifikasi. Namun, penelitian terbaru yang dipimpin oleh ahli geologi dan vulkanologi Guido Giordano dari Universitas Roma Tre, menawarkan penjelasan yang revolusioner.
Giordano dan timnya berhipotesis bahwa sebelum terjangan aliran piroklastik, awan abu vulkanik yang sangat panas, dengan suhu mencapai setidaknya 510°C (950°F), telah menyelimuti kota dengan cepat. Panas ekstrem ini, diikuti oleh proses pendinginan yang sama cepatnya, telah menyebabkan vitrifikasi otak—proses perubahan material organik menjadi kaca. Hipotesis ini didukung oleh analisis fragmen arang yang ditemukan di dekat jenazah, yang menunjukkan tanda-tanda paparan panas tinggi dan pendinginan cepat. Perbandingan dengan letusan gunung berapi modern, seperti Gunung Unzen di Jepang (1991) dan Gunung Fuego di Guatemala (2018), yang menghasilkan awan abu super panas yang serupa, lebih memperkuat hipotesis ini.
Menggunakan teknologi pencitraan canggih, termasuk mikroskop elektron, para peneliti mampu memeriksa fragmen kaca tersebut secara detail. Hasilnya mengejutkan: struktur yang menyerupai sel-sel saraf teridentifikasi, yang memberikan bukti kuat bahwa material tersebut memang jaringan otak yang telah mengalami vitrifikasi. Antropolog forensik Pier Paolo Petrone dari Università di Napoli Federico II, salah satu peneliti utama, menyatakan bahwa proses vitrifikasi ini memungkinkan pelestarian struktur mikroskopis otak secara integral. Penemuan ini menandai kasus pertama vitrifikasi otak manusia yang diketahui terjadi secara alami.
Meskipun temuan ini sangat meyakinkan, perdebatan ilmiah masih berlanjut. Alexandra Morton-Hayward, seorang arkeolog molekuler dari Universitas Oxford, masih mempertanyakan kesimpulan tersebut. Dalam publikasi tahun 2020 di Science & Technology of Archaeological Research, ia dan timnya meragukan suhu dan kecepatan pendinginan aliran piroklastik di Herculaneum cukup untuk menyebabkan vitrifikasi. Mereka juga menyoroti terbatasnya akses peneliti eksternal terhadap sampel untuk analisis independen. Oleh karena itu, perdebatan seputar 'otak kaca' dari Herculaneum kemungkinan akan terus berlangsung, menunggu penelitian lebih lanjut dan kemungkinan ditemukannya kasus serupa.
Meskipun masih terdapat perdebatan, penemuan ini tetap memberikan wawasan yang luar biasa tentang dampak dahsyat letusan gunung berapi dan kemampuan proses alam untuk mengawetkan sisa-sisa organik dalam bentuk yang tak terduga. Kemajuan teknologi di masa depan diharapkan akan membantu mengungkap lebih banyak detail tentang peristiwa luar biasa ini dan memberikan pemahaman yang lebih komprehensif tentang fenomena vitrifikasi dalam konteks bencana alam.