Polemik Program Pembinaan Siswa di Barak Militer Jawa Barat: Tanggapan Gubernur dan Kritik Lembaga Perlindungan Anak

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menanggapi kritik yang dilontarkan oleh Komnas HAM dan Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) terkait program pendidikan karakter yang melibatkan siswa bermasalah di lingkungan barak militer. Program ini menuai kontroversi karena dianggap menerapkan pendekatan militeristik terhadap anak-anak yang seharusnya mendapatkan perlindungan dan pendidikan yang sesuai dengan usia mereka.

Dedi Mulyadi berpendapat bahwa kritik yang muncul justru menandakan bahwa kebijakan yang ia ambil mendapatkan perhatian dari masyarakat. Ia meyakini bahwa program ini, yang bertujuan untuk meningkatkan kedisiplinan siswa, tidaklah seperti yang dikhawatirkan oleh banyak pihak. Menurutnya, pendidikan yang diberikan oleh para instruktur dari TNI hanya fokus pada pembentukan karakter dan kedisiplinan, bukan pelatihan ala militer yang keras.

Pembelaan Gubernur dan Contoh Penerapan Disiplin Militer

Gubernur Dedi mencontohkan beberapa institusi pendidikan yang telah lama mengadopsi sistem kedisiplinan militer, seperti SMA Taruna Nusantara. Ia juga menekankan bahwa keterlibatan TNI dalam dunia pendidikan bukanlah hal yang baru, mengingat banyak tentara yang mengajar di daerah terpencil dan melatih Paskibraka. Dedi mengajak Komnas HAM dan KPAI untuk bersama-sama terlibat dalam membina siswa bermasalah dengan metode masing-masing, sehingga dapat dievaluasi efektivitasnya.

Ia juga mengundang perwakilan Komisi X DPR RI, KPAI, dan Komnas HAM untuk mengunjungi langsung barak pelatihan dan melihat bagaimana program tersebut dilaksanakan. Terkait izin dari Presiden, Dedi menjelaskan bahwa program ini telah mendapatkan persetujuan dari pihak TNI, yang secara implisit menunjukkan dukungan dari Presiden.

Tanggapan atas Kekhawatiran Lembaga Perlindungan Anak

Kritik utama dari Komnas HAM dan KPAI adalah kekhawatiran bahwa program ini akan memberikan stigma negatif kepada siswa yang bermasalah dan bahwa pendidikan di lingkungan militer bukanlah solusi yang tepat untuk masalah kenakalan remaja. Ketua Komnas HAM, Atnike Nova Sigiro, menyatakan bahwa pendidikan sipil bukanlah kewenangan TNI dan program ini perlu dievaluasi kembali. Anggota Komisi X DPR RI, Bonnie Triyana, menambahkan bahwa tidak semua masalah bisa diselesaikan dengan pendekatan militeristik.

Komisioner KPAI, Aris Adi Leksono, berpendapat bahwa anak-anak bermasalah termasuk dalam kelompok rentan yang membutuhkan pendekatan khusus dan perlindungan. Ia khawatir program ini akan memberikan stigma negatif dan tidak sesuai dengan prinsip-prinsip perlindungan anak.

Program Pendidikan Formal Tetap Berjalan

Dedi Mulyadi menegaskan bahwa para siswa yang mengikuti program ini tetap mendapatkan hak-hak mereka untuk pendidikan formal di sekolah. Program ini dirancang sedemikian rupa sehingga siswa dididik selama beberapa waktu di Rindam, kemudian melanjutkan pendidikan di sekolah khusus yang telah ditunjuk. Dengan demikian, pendidikan mereka tidak terganggu dan mereka tetap mendapatkan kesempatan untuk belajar.

  • Kritik Komnas HAM
  • Kritik KPAI
  • Kritik Komisi X DPR RI