Benteng Erfprins Bangkalan: Warisan Kolonial yang Terlupakan

Di jantung Kelurahan Pejagan, Bangkalan, Jawa Timur, berdiri sebuah monumen bisu yang menyimpan lembaran kelam sejarah kolonialisme: Benteng Erfprins. Bangunan megah seluas 980 meter persegi ini, dulunya menjadi simbol kekuasaan penjajah Belanda, kini memprihatinkan karena kondisinya yang tak terawat.

Dinding-dinding benteng yang kokoh, yang dahulu menjadi saksi bisu intrik dan strategi VOC, kini dipenuhi semak belukar dan tanaman rambat. Sebagian struktur bangunan tampak rusak dimakan usia dan cuaca. Ironisnya, keberadaan benteng yang seharusnya menjadi kebanggaan dan warisan sejarah, kini tertutup oleh aktivitas pedagang kaki lima (PKL), membuatnya nyaris tak terlihat dari jalan.

Benteng Erfprins memiliki arsitektur khas benteng pertahanan pada masanya. Empat bastion kokoh berdiri di setiap sudutnya, masing-masing dilengkapi dengan enam hingga tujuh lubang berbentuk persegi yang dulunya digunakan sebagai tempat meletakkan senjata api. Di bagian tengah benteng, terdapat bangunan tua yang dulunya berfungsi sebagai kantor dan tempat peristirahatan para serdadu Belanda.

Menurut Hidrochin Sabarudin, seorang sejarawan Bangkalan, nama "Erfprins" diambil dari nama cucu Raja Willem I, yaitu Prins Van Oranje. Benteng ini dibangun oleh Vereenigde Oostindische Compagnie (VOC) pada tahun 1744, di atas lahan seluas 7.249 meter persegi. Benteng dengan tinggi 3,5 meter dan ketebalan dinding 60 sentimeter ini dibangun menggunakan batu bata putih yang banyak ditemukan di Bangkalan.

Tujuan utama pembangunan Benteng Erfprins adalah untuk memantau pergerakan Kesultanan Tjakraningrat yang saat itu berkuasa di Bangkalan. Pada tahun 1743, VOC berusaha memecah belah Kesultanan Pakubuwono II dengan Kesultanan Tjakraningrat. VOC menjanjikan takhta kepada Pakubuwono II jika mereka berhasil menguasai Madura Barat dengan menyingkirkan Raja Tjakraningrat. Selain sebagai pos pengintai, benteng ini juga berfungsi sebagai gudang persenjataan VOC, tempat mereka membangun kekuatan militer dan menyuplai senjata untuk menumpas pemberontakan di berbagai wilayah seperti Cirebon, Bone, Jambi, Bali, dan Jawa.

Setelah kemerdekaan Indonesia, Benteng Erfprins mengalami perubahan fungsi. Pada tahun 1948 hingga 1956, benteng ini digunakan sebagai gudang senjata api oleh Pemerintah Kabupaten Bangkalan. Bangunan di dalam benteng juga sempat ditempati oleh pasukan Mobile Brigade (Mobrig) atau Brimob.

Salah seorang penghuni rumah di dalam benteng, Utik (46), menuturkan bahwa keluarganya telah tinggal di sana selama puluhan tahun. Dahulu, ada belasan keluarga yang mendiami rumah-rumah di dalam benteng. Namun, kini hanya tersisa tujuh kepala keluarga yang bertahan, sekaligus menjaga situs peninggalan kolonial tersebut.

Utik mengaku sering melihat penampakan sosok tentara Belanda di dalam benteng sejak kecil. Namun, ia tidak merasa takut karena sudah terbiasa dengan pemandangan tersebut. Baginya, yang terpenting adalah tidak ada gangguan yang berarti.

Kondisi Benteng Erfprins saat ini sangat memprihatinkan. Perlu adanya upaya serius dari pemerintah daerah dan pihak terkait untuk melestarikan bangunan bersejarah ini sebagai bagian dari warisan budaya bangsa. Revitalisasi dan pengelolaan yang tepat dapat menjadikan Benteng Erfprins sebagai destinasi wisata sejarah yang menarik, sekaligus meningkatkan kesadaran masyarakat akan pentingnya menjaga dan melestarikan cagar budaya.