Regulasi Perdagangan Berbelit, Indonesia Terpuruk di Indeks Hambatan Perdagangan Internasional 2025
Indonesia menempati posisi buncit dalam International Trade Barriers Index (TBI) 2025, sebuah laporan yang mengukur tingkat keterbukaan dan hambatan perdagangan antar negara. Tholos Foundation, lembaga think tank yang berfokus pada riset keterbukaan ekonomi, menempatkan Indonesia di peringkat 122 dari 122 negara yang diukur.
Indeks ini mengukur hambatan perdagangan langsung dan tidak langsung yang mempengaruhi 97% PDB global dan 80% populasi dunia. Hambatan langsung meliputi tarif, hambatan non-tarif (NTB), dan pembatasan layanan. Sementara hambatan tidak langsung mencakup kinerja logistik, perlindungan hak cipta, pembatasan perdagangan digital, dan keanggotaan dalam Perjanjian Perdagangan Bebas (FTA).
Hong Kong menduduki peringkat pertama dalam TBI, diikuti oleh Singapura, Israel, Kanada, dan Jepang. Amerika Serikat berada di peringkat ke-61, sementara China berada di peringkat ke-114.
"Indonesia berada di peringkat terakhir," ungkap Analis Kebijakan Tholos Foundation, Philip Thompson, dalam acara Innovation Summit Southeast Asia di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Salah satu faktor yang menyebabkan peringkat buruk Indonesia adalah permasalahan perdagangan Iphone 16 di Indonesia, khususnya terkait dengan Tingkat Komponen Dalam Negeri (TKDN). Thompson menyoroti bahwa hambatan perdagangan yang kaku dan terlalu membatasi menjadi masalah utama.
Namun, Thompson juga menyampaikan harapan terhadap pemerintahan baru Presiden Prabowo Subianto, terutama mengingat banyak perusahaan di AS dan Eropa yang mencari alternatif rantai pasok di Asia.
"Reformasi yang masuk akal dapat membawa Indonesia melompat menuju era baru," kata Thompson.
Sektor-sektor seperti pertanian, komoditas, dan sumber daya alam dinilai memiliki peluang inovasi yang besar. Ini termasuk sustainable farming, sistem logistik modern, dan ekspor berbasis nilai tambah. Sektor-sektor tradisional ini seringkali kurang diperhatikan.
Padahal, sektor pertanian, kehutanan, dan perikanan menyumbang 12,61% terhadap PDB Indonesia pada tahun 2024, dan perkebunan berkontribusi 4,17%. Kelapa sawit tetap menjadi andalan ekspor Indonesia. Industri tembakau juga memberikan kontribusi besar terhadap penerimaan negara, mencapai lebih dari Rp 150 triliun per tahun. Sementara itu, sektor energi terbarukan, perumahan, dan industri kreatif terus menunjukkan pertumbuhan dan berpotensi menjadi penopang ekonomi masa depan.
"Pemerintah perlu membiarkan sektor-sektor ini tumbuh secara organik. Dengan insentif yang tepat dan iklim usaha yang sehat, bukan intervensi atau regulasi berlebihan, sektor lama dan sektor baru dapat tumbuh berdampingan," ujar Alfian Banjaransari, Country Manager CME.