Polemik Program Makan Bergizi Gratis di Yogyakarta: Sekolah Mengeluh, Pemerintah Tegaskan Lanjut

Polemik Program Makan Bergizi Gratis di Yogyakarta: Sekolah Mengeluh, Pemerintah Tegaskan Lanjut

Program Makan Bergizi Gratis (MBG) yang digagas oleh Pemerintah Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menuai pro dan kontra di kalangan sekolah. Meskipun bertujuan mulia untuk meningkatkan gizi siswa dan membentuk karakter positif, implementasinya di lapangan memicu keluhan terkait beban kerja tambahan bagi tenaga kependidikan.

Dinas Pendidikan, Pemuda, dan Olahraga (Disdikpora) DIY bersikukuh untuk melanjutkan program MBG pada tahun ajaran baru. Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, menyatakan bahwa manfaat jangka panjang MBG bagi siswa jauh lebih besar daripada kesulitan sementara yang dihadapi oleh staf sekolah. Menurutnya, program ini bukan hanya tentang menyediakan makanan bergizi, tetapi juga tentang menanamkan nilai-nilai luhur dan membentuk karakter siswa melalui pembiasaan sikap positif saat makan.

"Manfaat bagi siswa jauh lebih besar dari pada tenaga yang di keluarkan" ujar Suhirman.

Manfaat Ganda Program MBG

Suhirman menambahkan bahwa MBG memiliki dua tujuan utama. Pertama, memberikan asupan gizi yang memadai kepada siswa, terutama mereka yang berasal dari keluarga kurang mampu. Kedua, membentuk karakter siswa melalui pembiasaan sikap positif saat makan. Hal ini mencakup berdoa sebelum dan sesudah makan, menghargai makanan, serta menjaga kebersihan dan ketertiban saat makan.

Disdikpora DIY berperan aktif sebagai mediator antara penyedia makanan (SPPG) dan pihak sekolah. Aspirasi dan masukan dari siswa mengenai menu, cara penyajian, dan jadwal makan ditampung dan dikoordinasikan dengan SPPG. Tujuannya adalah untuk memastikan bahwa program MBG berjalan efektif dan sesuai dengan kebutuhan siswa.

Saat ini, program MBG telah diimplementasikan di sejumlah sekolah di Yogyakarta, termasuk SMA 1 Kasihan, SMA 1 Wonosari, SMK 3 Wonosari, SMK 4 Yogyakarta, dan SMA 5 Yogyakarta. Disdikpora DIY berencana untuk memperluas cakupan program ini ke lebih banyak sekolah di masa mendatang.

Keluhan Sekolah dan Permohonan Penghentian Program

Di sisi lain, beberapa sekolah menyampaikan keluhan terkait pelaksanaan MBG. Wakil Kepala SMKN 4 Yogyakarta Bidang Kesiswaan, Widiatmoko Herbimo, mengungkapkan bahwa program ini menambah beban kerja bagi karyawan sekolah. Mereka harus meluangkan waktu untuk menunggu kedatangan makanan, menyusun laporan keuangan, dan melakukan tugas-tugas administratif lainnya yang mengganggu kegiatan rutin sekolah.

"Program ini membuat karyawan harus bekerja lebih keras," kata Widiatmoko.

Bahkan, SMKN 4 Yogyakarta telah mengajukan permohonan resmi kepada Disdikpora DIY untuk menghentikan program MBG pada tahun ajaran baru. Pihak sekolah berharap agar Disdikpora DIY dapat mempertimbangkan kembali kebijakan ini dan mencari solusi yang lebih efektif untuk meningkatkan gizi siswa tanpa membebani sekolah.

Temuan Ulat dalam Makanan: Insiden Terisolasi?

Selain keluhan terkait beban kerja, program MBG juga sempat diwarnai insiden penemuan ulat dalam makanan. Kepala Disdikpora DIY, Suhirman, mengakui adanya laporan tersebut, namun menegaskan bahwa kasus ini bersifat terisolasi. Ia menjelaskan bahwa dari sekian banyak porsi makanan yang disajikan, hanya satu yang ditemukan mengandung ulat.

"Itu saya konfirmasi yang dulu, kok itu. Ya, memang itu kan ada. Itu yang saya konfirmasi ternyata itu yang dulu. Artinya memang ada to itu (ulat) di sayur itu, apa ulat atau apa yang sering ikut. Jadi dari sekian banyak cuma satu, ya wajarlah begitu," kata Suhirman.

Disdikpora DIY berjanji akan meningkatkan pengawasan terhadap kualitas makanan yang disediakan oleh SPPG untuk mencegah terulangnya kejadian serupa. Mereka juga akan melibatkan pihak sekolah dalam proses pengawasan dan memberikan pelatihan kepada petugas dapur tentang standar kebersihan dan keamanan pangan.