Industri Otomotif Indonesia Diklaim Solid dan Jauh dari Ancaman Deindustrialisasi
markdown Kinerja industri otomotif Indonesia saat ini disebut masih menunjukkan kondisi yang stabil dan kuat. Menteri Perindustrian Republik Indonesia, Agus Gumiwang Kartasasmita, menegaskan bahwa sektor ini jauh dari ancaman deindustrialisasi, dengan rantai pasok yang terus menunjukkan perkembangan positif.
Hal ini dibuktikan dengan capaian Manufacturing Value Added (MVA) atau Nilai Tambah Manufaktur yang mencapai 256,98 miliar dollar AS pada tahun 2023. Angka ini menempatkan Indonesia di posisi 12 besar negara manufaktur dunia, sekaligus menjadi yang terunggul di kawasan ASEAN, melampaui Thailand dan Vietnam.
"Capaian ini merupakan rekor tertinggi dalam sejarah Indonesia. Kita berada di urutan ke-5 terbesar di Asia setelah China, Jepang, India, dan Korea Selatan. Kami akan terus berupaya untuk meningkatkan posisi ini," ujar Agus dalam acara New Energy Vehicle Summit 2025 di Jakarta, Selasa (6/5/2025).
Menurut Agus, tren peningkatan MVA di Indonesia terus berlanjut sejak tahun 2015. Hal ini menunjukkan bahwa secara industri dan manufaktur, Indonesia telah setara dengan beberapa negara maju seperti Inggris, Rusia, dan Perancis.
"Rata-rata MVA dunia adalah 78,73 miliar dollar AS, sementara secara historis MVA Indonesia mencapai 102,85 miliar dollar AS, jauh di atas rata-rata global. Ini mengindikasikan struktur industri nasional yang kuat dari hulu hingga hilir," jelas Agus.
Data dari Badan Pusat Statistik (BPS) juga menunjukkan kontribusi signifikan industri manufaktur non-migas terhadap pendapatan nasional melalui Produk Domestik Bruto (PDB) sebesar 17,50 persen.
"Secara tahunan, pangsa pasar industri manufaktur non-migas naik dari 17,47 persen menjadi 17,50 persen. Sementara secara kuartalan juga mengalami peningkatan dari 17,31 persen," tambahnya.
"Jadi, klaim bahwa Indonesia sedang atau telah memasuki tahap deindustrialisasi adalah tidak benar. Jika dilihat dari MVA dan kontribusinya terhadap GDP atau PDB, pernyataan tersebut tidak valid," tegas Agus.
Meski demikian, Agus mengakui bahwa sektor otomotif, termasuk kendaraan roda dua, roda empat atau lebih, serta komponen, mengalami perlambatan sebesar 3,1 persen sepanjang tahun 2024. Hal ini berdampak pada hilangnya nilai ekonomi sebesar Rp 10 triliun.
"Namun, perlambatan penjualan ini tidak terkait dengan deindustrialisasi. Penjualan lebih berkaitan dengan daya beli dan faktor-faktor lainnya," jelas Agus.
"Saat ini, daya beli di berbagai negara juga mengalami penurunan, tidak hanya di Indonesia. Hanya beberapa negara yang mengalami pertumbuhan yang signifikan. Indonesia masih mencatatkan pertumbuhan, tetapi mengalami perlambatan," lanjutnya.
Untuk meningkatkan daya beli, Kementerian Perindustrian akan memberikan perhatian lebih. Namun, Agus tidak memberikan rincian lebih lanjut mengenai langkah-langkah yang akan diambil.