Polemik Kriminalisasi Kepala Desa di Kotawaringin Barat: Konflik Lahan Adat Mencuat

Aksi Damai Warnai Proses Hukum Kades Tempayung

Kasus hukum yang menjerat Syahyunie, Kepala Desa Tempayung, Kabupaten Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, memicu gelombang protes. Vonis enam bulan penjara yang dijatuhkan kepadanya atas tuduhan provokasi dalam sengketa lahan dengan PT Sungai Rangit, dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat. Puluhan warga dan aktivis yang tergabung dalam Koalisi Masyarakat Sipil Melawan Kriminalisasi Kades Tempayung menggelar aksi damai di depan Pengadilan Tinggi Palangka Raya, menuntut pembebasan Syahyunie yang tengah mengajukan banding.

Kasus ini bermula dari aksi pemortalan lahan oleh warga sebagai bentuk protes terhadap ketidakadilan dalam pengelolaan lahan dan tuntutan pembagian plasma. Namun, aksi kolektif ini justru berujung pada proses hukum yang menyasar sang kepala desa. Agung Sesa, juru bicara aksi, menyoroti sejumlah kejanggalan dalam proses hukum yang dinilai mengarah pada kriminalisasi. Ia mempertanyakan pengabaian bukti dan argumentasi pledoi oleh penuntut umum, yang hanya mengulang dakwaan tanpa menanggapi substansi pembelaan yang diajukan penasihat hukum.

Agung juga menyoroti klaim kerugian PT Sungai Rangit yang hanya didasarkan pada testimoni internal tanpa melibatkan penilaian independen dari akuntan publik atau jasa penilai publik. Hal ini dinilai berpotensi melanggar standar pembuktian pidana. Selain itu, penasihat hukum Syahyunie telah mengajukan keberatan bahwa perkara ini seharusnya diselesaikan melalui jalur perdata, mengingat status lahan adat yang belum final secara hukum. Namun, keberatan ini tidak dipertimbangkan oleh majelis hakim.

Kejanggalan Proses Hukum dan Status Masyarakat Adat

Lebih lanjut, Agung mempertanyakan mengapa hanya satu orang yang diproses hukum, padahal tindakan tersebut dilakukan secara kolektif oleh masyarakat adat. Hal ini dinilai bertentangan dengan logika hukum pidana tentang penyertaan pidana. Status pengakuan masyarakat adat Desa Tempayung yang tidak terdaftar di Badan Registrasi Wilayah Adat (BRWA) juga menjadi sorotan. Hakim dan jaksa menjadikan hal ini sebagai alasan untuk menolak pembelaan, padahal pengakuan masyarakat hukum adat tidak hanya bergantung pada BRWA.

Kasus ini semakin ironis karena hakim mengakui bahwa Syahyunie bertindak atas dasar membantu masyarakat menyalurkan aspirasi terkait pembagian plasma. Seharusnya, hal ini menjadi pertimbangan untuk restorative justice, bukan malah menjebloskannya ke penjara.

Syahyunie ditangkap di Bandara Iskandar Pangkalan Bun setelah pulang dari Jakarta pada September 2024. Setelah diperiksa, ia ditetapkan sebagai tersangka namun tidak ditahan karena adanya jaminan dari Pengurus Daerah Aliansi Masyarakat Adat Nusantara (AMAN) Kotawaringin Barat dan Camat Kotawaringin Lama. Namun, status tersangka tetap melekat padanya hingga kasusnya dilimpahkan ke Kejaksaan Negeri Kotawaringin Barat pada Desember 2024, dan ia ditetapkan sebagai tahanan rumah dengan gelang pelacak GPS.

Kasus Syahyunie menjadi simbol perjuangan masyarakat adat dalam mempertahankan hak atas tanah leluhur mereka. Vonis yang dijatuhkan kepadanya memicu pertanyaan tentang keadilan dan keberpihakan hukum terhadap masyarakat adat di tengah konflik agraria yang semakin kompleks.

Poin-poin penting dalam kasus ini meliputi:

  • Kriminalisasi: Vonis terhadap Syahyunie dianggap sebagai bentuk kriminalisasi terhadap perjuangan masyarakat adat.
  • Sengketa Lahan: Kasus ini berakar dari sengketa lahan antara masyarakat adat Desa Tempayung dengan PT Sungai Rangit.
  • Proses Hukum: Proses hukum yang dinilai janggal dan tidak adil.
  • Status Masyarakat Adat: Status pengakuan masyarakat adat yang dipermasalahkan karena tidak terdaftar di BRWA.
  • Restorative Justice: Pertimbangan restorative justice yang diabaikan.

Kasus ini membuka diskusi tentang perlindungan hak-hak masyarakat adat, keadilan dalam penegakan hukum, dan penyelesaian konflik agraria yang berkeadilan.