Jembatan Mahakam Rawan Insiden: Sorotan pada Koordinasi Lintas Sektor yang Belum Optimal
Insiden Berulang Ancam Jembatan Mahakam: Pertanyakan Tata Kelola dan Koordinasi
Samarinda, Kalimantan Timur – Jembatan Mahakam, infrastruktur vital bagi Kalimantan Timur, kembali menjadi sorotan setelah insiden tabrakan oleh kapal tongkang pengangkut batu bara pada 28 April 2025. Kejadian ini bukan yang pertama, melainkan yang ke-20 kalinya sejak jembatan tersebut berdiri, menimbulkan pertanyaan serius tentang lemahnya perlindungan infrastruktur strategis di jalur logistik utama ini.
DR. Capt. Marcellus Hakeng Jayawibawa, pengamat maritim dari IKAL Strategic Center, menekankan bahwa insiden ini seharusnya menjadi peringatan keras bagi pemerintah. Ia menyerukan reformasi menyeluruh dalam pengelolaan infrastruktur dan pelayaran sungai di Indonesia. Menurutnya, Jembatan Mahakam bukan hanya penghubung darat, tetapi juga berada di jalur pelayaran penting untuk logistik dan batu bara nasional. Tabrakan yang berulang kali terjadi adalah cerminan dari masalah sistemik.
Fragmentasi Tata Kelola Picu Lambatnya Respons
Hakeng mengkritik fragmentasi tata kelola infrastruktur nasional sebagai salah satu penyebab utama masalah ini. Pengelolaan jembatan berada di bawah Kementerian PUPR, sementara lalu lintas sungai ditangani oleh Kementerian Perhubungan melalui Kantor Kesyahbandaran dan Otoritas Pelabuhan (KSOP). Struktur yang terpisah ini menyebabkan respons yang lambat dan keputusan yang kurang komprehensif. Tidak adanya komando terpadu saat terjadi krisis memperparah situasi.
Penutupan jalur pelayaran selama perbaikan jembatan juga berdampak signifikan pada industri batu bara dan logistik. Kapal-kapal tertahan di luar pelabuhan, meningkatkan biaya operasional, menyebabkan penumpukan barang di gudang, dan mengganggu distribusi. Hakeng memperingatkan bahwa jika masalah ini tidak segera diatasi, kepercayaan investor dapat menurun, ekspor terganggu, dan posisi Indonesia dalam rantai pasok global melemah.
Sektor batu bara merupakan kontributor besar bagi penerimaan negara, sehingga gangguan sekecil apapun dapat berdampak pada pendapatan negara bukan pajak (PNBP). Oleh karena itu, perlindungan Jembatan Mahakam menjadi sangat penting untuk menjaga stabilitas ekonomi.
Perlindungan Struktural yang Terabaikan
Ironisnya, meskipun Jembatan Mahakam telah mengalami lebih dari 20 kali tabrakan, belum ada perlindungan struktural permanen yang dipasang. Hakeng mempertanyakan mengapa Indonesia belum menerapkan solusi seperti fender (pelindung tiang) yang umum digunakan di negara-negara maju untuk mencegah kerusakan akibat benturan. Ia mengusulkan pembiayaan pemasangan fender melalui skema retribusi atau premi perlindungan yang melibatkan pemerintah dan pelaku pelayaran.
Reformasi Tata Kelola dan Integrasi Teknologi
Selain solusi teknis, Hakeng menekankan pentingnya reformasi tata kelola kelembagaan, desentralisasi teknis terbatas untuk pemerintah daerah, serta integrasi teknologi seperti radar, lampu navigasi, dan kamera pengawas. Penataan ulang zona pelayaran dan pemasangan sistem peringatan dini juga diperlukan untuk mengintervensi kapal-kapal bermasalah sebelum memasuki zona berisiko.
Hakeng menyerukan agar insiden ini menjadi momen refleksi nasional. Pemerintah harus membangun sistem perlindungan jangka panjang untuk memastikan keselamatan, efisiensi logistik, dan ketahanan ekonomi. Keselamatan dan keberlanjutan harus menjadi prioritas dalam kebijakan publik, dan tindakan nyata harus diambil sebelum terjadi insiden berikutnya.