Revisi UU BUMN Picu Kekhawatiran: KPK Terancam Tak Berdaya Usut Korupsi di Tubuh BUMN?

Rancangan Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru menuai sorotan tajam dari kalangan akademisi dan penggiat antikorupsi. Pusat Kajian Antikorupsi (Pukat) Universitas Gadjah Mada (UGM) menyampaikan kekhawatiran mendalam terkait potensi pelemahan peran Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memberantas tindak pidana korupsi yang melibatkan direksi dan komisaris BUMN. Pasal kontroversial dalam UU BUMN yang baru ini menyatakan bahwa direksi dan komisaris BUMN tidak lagi dikategorikan sebagai penyelenggara negara, sebuah perubahan signifikan dari aturan sebelumnya.

Zaenur Rohman, peneliti Pukat UGM, mengungkapkan bahwa perubahan status ini dapat menghambat KPK dalam menjerat oknum-oknum di BUMN yang terlibat dalam praktik korupsi. "Jika mereka tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara, maka KPK tidak memiliki wewenang untuk menangani kasus korupsi yang melibatkan mereka," ujarnya.

Kekhawatiran utama adalah bahwa KPK tidak lagi dapat menggunakan Pasal 2 dan Pasal 3 Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) untuk menjerat pelaku korupsi di lingkungan BUMN. Pasal-pasal ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum yang menyebabkan kerugian negara, yang selama ini menjadi senjata utama KPK dalam memberantas korupsi.

Zaenur juga menyoroti potensi terjadinya ketidakpastian hukum akibat perubahan status ini. Ia berpendapat bahwa UU BUMN yang baru bertentangan dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 1999 tentang Penyelenggara Negara yang Bersih dan Bebas dari Korupsi, Kolusi, dan Nepotisme (KKN). UU Nomor 28 Tahun 1999 secara tegas menyebutkan bahwa komisaris dan direksi BUMN termasuk dalam kategori penyelenggara negara.

Implikasi lain dari perubahan status ini adalah potensi pembebasan pengurus BUMN dari kewajiban melaporkan harta kekayaan penyelenggara negara (LHKPN). LHKPN merupakan instrumen penting dalam pencegahan korupsi, karena memungkinkan masyarakat dan aparat penegak hukum untuk memantau kekayaan pejabat publik dan mendeteksi potensi terjadinya praktik korupsi.

  • Pasal 9G Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 Tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-undang Nomor 19 Tahun 2003 Tentang Badan Usaha Milik Negara: Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara.

Dengan tidak adanya kewajiban melaporkan LHKPN, pengawasan terhadap potensi korupsi di lingkungan BUMN akan semakin sulit dilakukan. Hal ini dapat membuka celah bagi praktik korupsi yang lebih masif dan terstruktur.

Perubahan status direksi dan komisaris BUMN menjadi isu krusial yang membutuhkan perhatian serius dari pemerintah dan DPR. Diperlukan kajian mendalam untuk memastikan bahwa UU BUMN yang baru tidak melemahkan upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. Jika tidak, tujuan untuk menciptakan BUMN yang bersih, efisien, dan profesional akan sulit tercapai.