Mahfud MD: Pemakzulan Gibran Secara Politik Sulit Terwujud
Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi (MK), Mahfud MD, menyatakan bahwa upaya pemakzulan terhadap Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka melalui jalur politik kemungkinan besar akan menemui jalan buntu. Pernyataan ini disampaikan menanggapi adanya usulan dari berbagai pihak terkait potensi pemakzulan tersebut.
Menurut Mahfud, proses pemakzulan seorang presiden atau wakil presiden memerlukan serangkaian tahapan yang kompleks dan sulit. Salah satunya adalah sidang pleno di Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) yang harus dihadiri oleh minimal dua pertiga dari total anggota dewan. Mengingat komposisi kekuatan politik di DPR saat ini yang didominasi oleh koalisi pendukung Prabowo Subianto dan Gibran Rakabuming Raka, Mahfud menilai bahwa realisasi sidang pleno tersebut akan menjadi tantangan yang sangat berat.
"Secara politik, saya rasa pemakzulan sulit terjadi. Koalisi pendukung pemerintah saat ini memiliki kekuatan yang signifikan di parlemen," ujar Mahfud seperti dikutip dari kanal Youtube pribadinya.
Lebih lanjut, Mahfud menjelaskan bahwa dalam konteks ketatanegaraan, terdapat sejumlah kondisi yang dapat menjadi dasar pemakzulan presiden dan/atau wakil presiden. Kondisi-kondisi ini diatur dalam Pasal 7A Undang-Undang Dasar (UUD) 1945, yang meliputi:
- Pengkhianatan terhadap negara
- Tindak pidana korupsi
- Penyuapan
- Tindak pidana berat lainnya
- Perbuatan tercela
- Tidak lagi memenuhi syarat sebagai presiden/wakil presiden
Namun, Mahfud menekankan bahwa meskipun secara hukum proses pemakzulan mungkin saja dilakukan, realisasinya akan sangat bergantung pada dinamika politik yang berkembang. Setelah melalui proses di DPR, usulan pemakzulan harus diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) untuk diuji. Jika MK mengabulkan, usulan tersebut akan dikembalikan ke DPR untuk kemudian diteruskan ke Majelis Permusyawaratan Rakyat (MPR).
Mahfud juga mengingatkan bahwa dalam politik, tidak ada yang bersifat mutlak. Ia mencontohkan sejumlah peristiwa sejarah terkait pemberhentian presiden sebelumnya, seperti Soekarno, Soeharto, dan Abdurrahman Wahid (Gus Dur), yang menurutnya sarat dengan rekayasa konstitusional yang didasari oleh kepentingan politik.
Sebelumnya, Forum Purnawirawan TNI yang terdiri dari ratusan purnawirawan jenderal, laksamana, marsekal, dan kolonel, menyampaikan usulan agar Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka diganti melalui mekanisme di MPR. Usulan ini merupakan salah satu dari delapan poin deklarasi yang disampaikan oleh forum tersebut, yang juga mencakup penolakan terhadap sejumlah kebijakan pemerintah, seperti pembangunan Ibu Kota Negara (IKN), penggunaan tenaga kerja asing, dan usulan reshuffle menteri yang diduga terlibat korupsi.