UU BUMN Direvisi, Eks Penyidik KPK Ingatkan Potensi Korupsi Meningkat

Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru disahkan menuai kekhawatiran dari berbagai pihak, terutama terkait potensi peningkatan tindak pidana korupsi di lingkungan perusahaan pelat merah. Yudi Purnomo Harahap, mantan penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), secara tegas mengingatkan para direksi dan komisaris BUMN untuk tidak memanfaatkan perubahan status mereka sebagai celah untuk melakukan tindakan koruptif.

Dalam Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2003 tentang Badan Usaha Milik Negara, Pasal 9G secara eksplisit menyatakan bahwa anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan lagi merupakan penyelenggara negara. Status ini berbeda dengan aturan sebelumnya, yang menempatkan mereka sebagai subjek yang wajib melaporkan harta kekayaan (LHKPN) dan berada di bawah pengawasan KPK.

"Jangan sampai klausul bahwa mereka bukan penyelenggara negara sehingga tidak lagi ditangani KPK, bahkan tidak wajib lagi LHKPN karena bukan penyelenggara negara, seperti itu. Maka tentu jangan diartikan bisa berbuat semaunya di BUMN," ujar Yudi.

Yudi, yang juga mantan Ketua Wadah Pegawai KPK, mengungkapkan kekecewaannya atas perubahan status tersebut. Ia menilai bahwa revisi UU BUMN ini merupakan sebuah kemunduran dalam upaya pemberantasan korupsi, terutama mengingat maraknya kasus korupsi yang melibatkan BUMN dalam beberapa waktu terakhir. Menurutnya, perubahan ini berpotensi menciptakan lingkungan yang kurang transparan dan akuntabel, sehingga membuka peluang bagi oknum-oknum tertentu untuk melakukan penyalahgunaan wewenang dan memperkaya diri sendiri.

"Tentu kita menyayangkan bahwa di tengah kondisi BUMN saat ini, di mana kasus korupsi merajalela namun ternyata di dalam revisi UU BUMN malah secara tegas menyatakan organ BUMN seperti komisaris, direksi maupun dewan pengawas BUMN itu bukan penyelenggara negara," kata Yudi.

Meski demikian, Yudi mengaku menghormati proses legislasi yang telah berjalan dan berharap agar pemerintah dan DPR dapat segera merumuskan sistem pengawasan yang lebih efektif untuk mencegah terjadinya korupsi di BUMN. Ia menekankan pentingnya membangun sistem yang kuat dan transparan, sehingga meskipun direksi dan komisaris BUMN tidak lagi berstatus sebagai penyelenggara negara, mereka tetap bertanggung jawab atas setiap tindakan dan keputusan yang diambil.

"Kita berharap ada sistem yang mampu untuk mencegah terjadinya korupsi di BUMN sehingga kemudian tidak ada pengaruh ketika mereka penyelenggara negara ketika terjadi suatu penyimpangan penyalahgunaan wewenang apalagi tindak pidana korupsi," tegasnya.

Berikut adalah beberapa poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Perubahan Status: Direksi, komisaris, dan dewan pengawas BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara.
  • Potensi Korupsi: Perubahan ini dikhawatirkan dapat meningkatkan potensi korupsi di lingkungan BUMN.
  • Sistem Pengawasan: Perlunya sistem pengawasan yang lebih efektif untuk mencegah korupsi.
  • Akuntabilitas: Direksi dan komisaris BUMN tetap harus bertanggung jawab atas tindakan mereka.
  • Transparansi: Pentingnya menjaga transparansi dalam pengelolaan BUMN.