Efisiensi Anggaran Tekan Pertumbuhan Ekonomi, Pemerintah Didesak Ambil Langkah Korektif
Pertumbuhan Ekonomi Melambat Akibat Efisiensi Anggaran
Implementasi efisiensi anggaran oleh pemerintah di awal tahun fiskal berdampak signifikan terhadap laju pertumbuhan ekonomi nasional. Data terbaru dari Badan Pusat Statistik (BPS) menunjukkan bahwa ekonomi Indonesia pada kuartal I-2025 mengalami perlambatan, dengan pertumbuhan tercatat sebesar 4,87% (year-on-year). Situasi ini memicu kekhawatiran di kalangan ekonom dan pengamat kebijakan publik.
Media Wahyudi Askar, Direktur Kebijakan Publik CELIOS, mengungkapkan bahwa kebijakan efisiensi anggaran yang bertujuan mengoptimalkan belanja negara justru menimbulkan efek domino yang kontraproduktif. Kontraksi pada pertumbuhan belanja pemerintah, tercatat sebesar -1,38% (yoy), turut memperlemah kinerja ekonomi secara keseluruhan. Menurutnya, pengurangan belanja publik berdampak langsung pada aktivitas ekonomi di berbagai sektor, terutama di daerah-daerah.
"Penekanan anggaran transfer ke daerah membatasi kemampuan pemerintah daerah dalam membiayai proyek infrastruktur dan program sosial," ujarnya. Padahal, Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) selama ini menjadi tulang punggung dalam menciptakan lapangan kerja melalui pembangunan infrastruktur di tingkat desa serta program perlindungan sosial.
Askar juga menyoroti pengalihan sebagian besar hasil efisiensi anggaran ke program Makan Bergizi Gratis (MBG). Ia berpendapat bahwa program baru ini belum memberikan nilai tambah yang signifikan terhadap perekonomian dan penciptaan lapangan kerja. Di sisi lain, banyak Balai Latihan Kerja (BLK) yang tidak beroperasi karena kekurangan anggaran akibat efisiensi, dan sejumlah pendamping desa juga dirumahkan. Padahal, BLK dan pendamping desa merupakan motor penggerak penciptaan lapangan kerja di sektor riil.
Daya Beli Masyarakat Turun
Anggota Dewan Ekonomi Nasional (DEN), Arief Anshory Yusuf, menyoroti kebijakan efisiensi anggaran yang diterapkan di tengah kondisi daya beli masyarakat yang sedang melemah. Hal ini tercermin dari pertumbuhan konsumsi rumah tangga yang melambat di bawah 5% dalam beberapa kuartal terakhir. Pertumbuhan konsumsi rumah tangga terakhir kali berada di atas 5% pada kuartal III-2023, yakni sebesar 5,05%. Setelah itu, pertumbuhan konsumsi rumah tangga cenderung melambat, dengan angka 4,47% pada kuartal IV-2023, 4,91% pada kuartal I-2024, 4,93% pada kuartal II-2024, 4,91% pada kuartal III-2024, 4,98% pada kuartal IV-2024, dan kembali melambat menjadi 4,89% pada kuartal I-2025.
"Kondisi ini harus menjadi perhatian pemerintah, karena tidak semua pihak meyakini bahwa daya beli konsumen sedang melemah. Padahal, DEN telah menyampaikan fakta-fakta terkait penurunan upah riil dan peningkatan proporsi defensive consumption spending," kata Arief.
Untuk mengembalikan laju pertumbuhan ekonomi ke level 5% pada sisa kuartal tahun ini, Arief mendesak pemerintah untuk kembali menggeliatkan belanja pemerintah. Ia mengingatkan bahwa tidak ada lagi faktor musiman yang dapat mendorong konsumsi masyarakat, seperti perayaan tahun baru atau hari besar keagamaan.
"Pemerintah perlu segera fokus untuk membalikkan tren penurunan government consumption," tegas Arief.
Deregulasi dan Investasi
Selain itu, Arief juga mendorong pemerintah untuk segera menyelesaikan rancangan kebijakan deregulasi guna mendorong pertumbuhan investasi. Pembentukan Modal Tetap Bruto (PMTB), yang merupakan komponen kedua terbesar penyumbang PDB pada kuartal I-2025, hanya tumbuh 2,12%, lebih rendah dibandingkan kuartal IV-2024 yang tumbuh 5,03%.
"Percepatan deregulasi diperlukan untuk menarik investasi masuk. Tidak menutup kemungkinan kami akan mengusulkan stimulus untuk mengangkat konsumsi rumah tangga," saran Arief.
Ketidakpastian Global
Executive Director Center for Strategic and International Studies (CSIS), Yose Rizal Damuri, menambahkan bahwa ketidakpastian global yang semakin meningkat dapat memperburuk kondisi ekonomi Indonesia di masa depan. Ia menyoroti pelemahan ekonomi yang terjadi pada kuartal I, padahal dampak dari gejolak global baru akan terasa.
"Pelemahan ini terjadi sebelum dampak eksternal terasa, dan juga didukung oleh momentum Ramadan serta Lebaran. Hal ini menunjukkan bahwa kondisi ekonomi ke depan akan semakin mengkhawatirkan," ujar Yose dalam acara Innovation Summit Southeast Asia di Jakarta.
Yose memprediksi bahwa ekspor Indonesia akan terpengaruh oleh kebijakan tarif resiprokal yang diterapkan oleh Presiden Amerika Serikat (AS), Donald Trump. Selain itu, pelemahan ekonomi global juga akan menekan harga komoditas, yang merupakan sumber pendapatan utama Indonesia. Hal ini akan berdampak pada penurunan ekspor dan pertumbuhan ekonomi secara keseluruhan.
"Pemerintah harus lebih bersiap menghadapi kondisi yang semakin tidak menentu. Permasalahan ke depan akan semakin kompleks," tegas Yose. Ia menambahkan bahwa fundamental ekonomi Indonesia saat ini tidak sekuat pada saat krisis tahun 2008 atau 2012.