Perlambatan Ekonomi Indonesia: INDEF Soroti Kerentanan dan Desakan Pembenahan Kebijakan

Ekonomi Indonesia di Persimpangan Jalan: Analisis INDEF Mengungkap Kerentanan dan Perlunya Reformasi Kebijakan

Laju pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 menunjukkan tren penurunan, mencapai 4,87% secara tahunan (year-on-year). Angka ini lebih rendah dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya yang mencapai 5,11%. Institute for Development of Economics & Finance (INDEF) menyoroti perlambatan ini sebagai sinyal peringatan yang mengindikasikan perlunya penguatan kebijakan ekonomi secara signifikan. INDEF mengidentifikasi serangkaian faktor yang mengindikasikan situasi ekonomi yang genting, yang memerlukan respons cepat dan terarah dari pemerintah.

Kerentanan Terhadap Gejolak Global dan 'Dual Shocks'

Salah satu poin utama yang ditekankan INDEF adalah kerentanan Indonesia terhadap perlambatan ekonomi global. Proyeksi International Monetary Fund (IMF) menunjukkan revisi penurunan pertumbuhan ekonomi global menjadi 2,8% untuk tahun 2025, yang menggambarkan fase stagnasi setelah krisis. Ketergantungan Indonesia pada ekspor komoditas mentah tanpa disertai lompatan industrialisasi membuat negara ini rentan terhadap dinamika eksternal. INDEF menilai bahwa pemerintah belum cukup agresif dalam merespons tren ini dengan strategi diversifikasi dan peningkatan daya saing manufaktur berbasis teknologi tinggi.

Selain itu, INDEF juga mewaspadai potensi terjadinya 'dual shocks' akibat volatilitas harga komoditas. Di satu sisi, lonjakan harga komoditas seperti batu bara dan minyak mentah dapat menciptakan 'positive revenue shock' yang meningkatkan penerimaan devisa. Namun, kondisi ini bersifat sementara dan tidak inklusif. Di sisi lain, penurunan harga komoditas seperti nikel dan CPO dapat memicu 'negative margin shock' yang berdampak langsung terhadap sektor hilirisasi dan tenaga kerja di daerah berbasis tambang dan perkebunan. Fenomena ini dapat menggagalkan strategi hilirisasi industri sebagai motor pertumbuhan ekonomi.

Stagnasi Domestik dan Disorientasi Kebijakan Fiskal

INDEF juga menyoroti bahwa realisasi pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 berada di bawah ancaman stagnasi. Pertumbuhan sebesar 4,87% yoy menjadi 'early warning' yang mengindikasikan bahwa optimisme pemerintah tidak lagi berakar pada realitas. Pelemahan ini tidak hanya disebabkan oleh dinamika global, tetapi juga oleh kegagalan domestik dalam melakukan transformasi struktural. Ketidakefisienan belanja fiskal, minimnya dorongan produktivitas sektoral, dan stagnasi investasi swasta menjadi faktor-faktor yang menghambat pertumbuhan ekonomi.

Lebih lanjut, INDEF mengkritik kebijakan fiskal pemerintah yang dinilai disorientasi. Investasi yang stagnan dan konsumsi rumah tangga yang melemah menunjukkan bahwa daya dorong utama pertumbuhan ekonomi mengalami kelumpuhan. Ironisnya, konsumsi pemerintah yang seharusnya menjadi jangkar pertumbuhan justru dikontraksi oleh efisiensi anggaran sebesar Rp 300 triliun. Kebijakan ini dinilai kontraproduktif karena alih-alih menciptakan peluang di tengah ancaman pelemahan, justru menciptakan kontraksi.

Hilirisasi yang Belum Optimal dan Pengetatan Likuiditas

Dari sisi penawaran, pertumbuhan ekonomi kuartal I 2025 (yoy) menunjukkan bahwa hilirisasi masih sebatas simulasi. Pertumbuhan tinggi sektor pertanian yang berbasis musiman hanya menutupi stagnasi mendalam yang terjadi di sektor manufaktur dan pertambangan yang menjadi pilar hilirisasi. Pemerintah dinilai belum berhasil mendorong sektor-sektor tersebut menjadi mesin pertumbuhan yang memberikan nilai tambah besar dan berkelanjutan. Tanpa transformasi struktural ekonomi sektoral berbasis inovasi dan produktivitas, hilirisasi hanya menjadi slogan tanpa dampak nyata terhadap kinerja agregat ekonomi.

Selain itu, INDEF juga menyoroti rezim suku bunga tinggi dan kebijakan efisiensi anggaran yang membuat likuiditas perekonomian mengering. Kenaikan suku bunga Bank Indonesia (BI Rate), suku bunga Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI), dan yield Surat Berharga Negara (SBN) mendorong migrasi likuiditas perekonomian mengarah pada aset-aset berimbal hasil tinggi. Situasi ini diperparah dengan adanya kebijakan efisiensi anggaran yang dianggap berlebihan, sehingga menyusutkan perputaran likuiditas di sektor riil.

Kredit yang Lesu dan Ketidakpastian Ekonomi

Laju kredit pada Maret 2025 menurun ke 8,7% dari 9,7% pada bulan Februari 2025, meskipun didorong oleh momentum Ramadhan dan Lebaran. Lesunya capaian kredit mencerminkan melemahnya dukungan sektor keuangan bagi peningkatan aktivitas sektor riil. Data undisbursed loan atau kredit yang sudah disetujui bank namun belum ditarik oleh dunia usaha untuk produksi maupun ekspansi usaha meningkat sebesar 27,83 persen yoy pada Februari 2025 dibanding Februari 2024. Kondisi ini merefleksikan tingginya ketidakpastian ekonomi sehingga dunia usaha menahan ekspansi.

Rekomendasi Kebijakan

Menghadapi ketidakpastian ekonomi global, INDEF menekankan urgensi kombinasi kebijakan yang mencakup optimalisasi potensi domestik, stimulus fiskal tepat sasaran, dan dukungan ekosistem industri. Pemerintah perlu melihat potensi ekonomi domestik dan menguatkan fungsi stimulus fiskal yang berdampak langsung terhadap konsumsi. Dukungan terhadap industri pengolahan dari berbagai sektor yang menjadi ekosistem industri juga sangat penting, termasuk dukungan energi, logistik, infrastruktur, tenaga kerja, fiskal, dan perdagangan.