Penerimaan Negara dari Bea Masuk Merosot Akibat Kebijakan Impor Beras dan Insentif Kendaraan Listrik
Hingga kuartal pertama tahun 2025, Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) mencatat penerimaan negara dari sektor kepabeanan dan cukai sebesar Rp 77,5 triliun. Angka ini merepresentasikan 25,7% dari target yang ditetapkan dan menunjukkan pertumbuhan sebesar 9,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year/yoy). Meski demikian, terdapat dinamika signifikan dalam komponen penerimaan yang perlu dicermati.
Direktur Jenderal Bea dan Cukai, Askolani, mengungkapkan bahwa lonjakan penerimaan bea keluar menjadi motor utama pertumbuhan ini, melonjak hingga 110,6% yoy atau mencapai Rp 8,8 triliun. Kinerja positif ini didorong oleh kenaikan harga komoditas kelapa sawit (CPO) dan pemberlakuan kembali kebijakan ekspor tembaga sejak Maret 2025. Keduanya menyumbang kontribusi signifikan pada total penerimaan bea keluar, mencapai Rp 8,7 triliun, jauh melampaui capaian kuartal pertama 2024 yang hanya sebesar Rp 4,17 triliun.
Namun, di sisi lain, penerimaan bea masuk mengalami kontraksi sebesar 5,8%, hanya mencapai Rp 11,3 triliun. Askolani menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh dua faktor utama. Pertama, tidak adanya kuota impor beras yang diberikan kepada Bulog pada tahun 2025. Kebijakan ini berbeda dengan tahun 2024, di mana Bulog masih melakukan impor beras, sehingga memberikan kontribusi pada penerimaan bea masuk. Imbasnya, tidak ada lagi pemasukan bea masuk dari aktivitas impor beras di tahun 2025.
Kedua, implementasi kebijakan insentif bea masuk untuk kendaraan listrik (EV) juga turut mempengaruhi penurunan penerimaan. Pemerintah memberikan insentif berupa tarif bea masuk Rp 0 untuk EV, yang bertujuan untuk mendorong adopsi kendaraan ramah lingkungan. Dampaknya, tidak ada kontribusi penerimaan dari impor kendaraan bermotor, khususnya EV.
Sementara itu, penerimaan cukai menunjukkan pertumbuhan yang moderat sebesar 5,3%, dengan total Rp 57,4 triliun. Kontributor utama penerimaan cukai adalah cukai hasil tembakau, yang mencapai Rp 55,7 triliun atau tumbuh 5,6%. Askolani mencatat adanya penurunan produksi rokok secara keseluruhan sebesar 4,2% sepanjang tahun 2025. Penurunan ini terutama disebabkan oleh penurunan produksi rokok golongan I sebesar lebih dari 10%, sementara produksi rokok golongan II dan III masih mengalami kenaikan masing-masing sebesar 1% dan 7,4%.
Secara keseluruhan, kinerja penerimaan kepabeanan dan cukai hingga Maret 2025 mencerminkan dinamika kompleks antara kebijakan impor, insentif fiskal, dan kinerja sektor komoditas. Pertumbuhan signifikan pada bea keluar mengkompensasi penurunan pada bea masuk, sementara penerimaan cukai memberikan kontribusi yang stabil. Pemerintah perlu terus memantau perkembangan ini dan menyesuaikan kebijakan fiskal untuk menjaga stabilitas dan pertumbuhan penerimaan negara.