Resah Mutasi Dokter, Insan Medis RSA UGM Panjatkan Doa Bersama
Rumah Sakit Akademik (RSA) Universitas Gadjah Mada (UGM) menjadi saksi bisu berkumpulnya sejumlah dokter dari berbagai bidang keilmuan pada hari Rabu, 7 Mei 2025. Mereka tidak sedang merayakan keberhasilan operasi atau seminar ilmiah, melainkan memanjatkan doa bersama, sebuah ungkapan keprihatinan mendalam atas kebijakan mutasi mendadak yang dikeluarkan oleh Kementerian Kesehatan.
Direktur RSA UGM, Darwanto, mengungkapkan bahwa pemicu utama kegiatan ini adalah pemindahan tugas sejumlah dokter, terutama dokter spesialis anak. Kebijakan ini dinilai tidak memiliki alasan yang kuat dan transparan. Meskipun mengakui bahwa mutasi merupakan hak prerogatif Kementerian Kesehatan sebagai otoritas tertinggi, Darwanto menyesalkan pelaksanaannya yang terkesan tiba-tiba dan kurang mempertimbangkan dampaknya.
"Dengan kekuasaan yang dimiliki, Menteri Kesehatan memindahkan dokter sesuka hati. Memang itu haknya, tetapi kami sangat prihatin," ujarnya dengan nada kecewa.
Darwanto menekankan bahwa mutasi yang tidak terencana dengan baik dapat mengganggu keberlanjutan pelayanan medis kepada pasien, terutama di rumah sakit pendidikan seperti RSA UGM. Selain itu, proses pendidikan dokter juga terancam terhambat.
"Bagaimana kami bisa membina pasien dan mendidik calon dokter jika dipindahkan secara tiba-tiba tanpa alasan yang jelas? Kami sudah terikat dalam pendidikan dengan anak didik dan institusi pendidikan," tuturnya.
Lebih lanjut, Darwanto menyoroti dampak personal yang harus dihadapi oleh para dokter yang terkena mutasi mendadak. Masalah keluarga, adaptasi dengan lingkungan kerja baru, dan potensi stres menjadi beban tambahan yang harus dipikul.
"Pindahkan dokter itu bukan perkara mudah. Mereka harus mengurus anak, istri, rumah, dan yang paling penting adalah menyesuaikan diri dengan suasana kerja yang baru. Ini bisa menyebabkan stres, dan kami sangat menyayangkan hal ini," jelasnya.
Darwanto menambahkan bahwa selama masa jabatannya, mutasi mendadak seperti ini baru pertama kali terjadi. Ia mengungkapkan bahwa dua dokter dari Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) menjadi korban mutasi tanpa penjelasan yang memadai. Satu dokter anak dan satu dokter spesialis obstetri dan ginekologi (obgyn) termasuk dalam daftar tersebut.
"Ada dokter dari DIY yang dipindahkan ke Semarang, dan sebaliknya. Ada dua dokter, yaitu dokter anak dan dokter obgyn. Alasan mutasi tidak jelas," ungkapnya.
Doa bersama ini menjadi simbol harapan agar para dokter tetap diberikan kekuatan, ketenangan, dan suasana kerja yang kondusif. Dengan demikian, mereka dapat terus memberikan layanan kesehatan yang optimal dan berkontribusi pada cita-cita bangsa.
"Kami berharap Indonesia Emas 2045 dapat tercapai. Namun, semua itu membutuhkan doa dan suasana yang kondusif," pungkasnya.
Kegiatan doa bersama ini mencerminkan keresahan mendalam di kalangan tenaga medis RSA UGM atas kebijakan mutasi yang dinilai kurang transparan dan berdampak negatif pada pelayanan kesehatan dan pendidikan kedokteran. Mereka berharap agar pemerintah, khususnya Kementerian Kesehatan, dapat lebih mempertimbangkan aspek kemanusiaan dan profesionalisme dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan nasib para dokter.