Kasus Dugaan Pelecehan Seksual Eks Rektor Universitas Pancasila: Upaya Damai dan Ancaman Pembungkaman Mencuat

Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) melalui Wakil Menteri Immanuel Ebenezer, menyoroti dugaan upaya perdamaian yang diinisiasi oleh mantan Rektor Universitas Pancasila (UP), ETH, terhadap para korban yang melaporkannya atas dugaan pelecehan seksual. Pernyataan ini disampaikan di tengah keprihatinan mendalam atas kondisi psikologis korban yang dilaporkan terguncang akibat peristiwa tersebut.

Immanuel Ebenezer mengungkapkan indikasi adanya tekanan terhadap para korban yang membuat mereka enggan untuk berbicara secara terbuka. Bahkan, mencuat dugaan keterlibatan oknum berpengaruh yang mencoba menghalangi proses hukum yang sedang berjalan. Menanggapi hal ini, Wamenaker menyatakan kesiapannya untuk menghadapi segala bentuk intervensi yang berpotensi mengganggu penegakan keadilan. Ia menegaskan komitmennya untuk melindungi pekerja wanita dari segala bentuk perlakuan yang merendahkan dan diskriminatif.

Kemnaker, lanjut Immanuel, akan memanfaatkan seluruh instrumen hukum yang tersedia, termasuk Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, guna memberikan perlindungan maksimal kepada korban. Fokus utama adalah pasal-pasal yang secara khusus mengatur tentang perlindungan pekerja dari kekerasan dan diskriminasi di tempat kerja. Kasus ini dipandang sebagai bentuk penghinaan terhadap institusi pendidikan, kaum perempuan, dan harkat martabat pekerja.

Saat ini, terdapat dua korban yang telah secara resmi melaporkan kasus ini. Namun, Immanuel menduga bahwa jumlah korban sebenarnya lebih banyak, tetapi mereka masih merasa takut untuk mengungkapkan pengalaman mereka. Kemnaker saat ini tengah berkoordinasi erat dengan pihak penyidik dan berupaya menghadirkan saksi ahli untuk memperkuat bukti-bukti yang ada dan memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan transparan. Komitmen Kemnaker adalah untuk mengusut tuntas kasus ini dan memberikan perlindungan serta pendampingan kepada para korban.

Kasus ini bermula ketika perusahaan tempat kedua korban bekerja menjalin kerjasama dengan Universitas Pancasila. Dalam kapasitasnya sebagai Rektor, ETH diduga menyalahgunakan wewenangnya dan melakukan tindakan pelecehan seksual terhadap kedua korban dalam waktu dan situasi yang berbeda. Kuasa hukum korban, Yansen Ohoirat, menjelaskan bahwa peristiwa pertama terjadi pada tahun 2019 di Jakarta Selatan, di mana ETH diduga memaksa salah satu korban melakukan tindakan tidak senonoh.

Sementara itu, korban lainnya mengalami pelecehan seksual secara verbal pada tahun 2024 saat proses mediasi yang berlangsung di sebuah pusat perbelanjaan di Jakarta Selatan. Dalam pertemuan tersebut, ETH diduga melontarkan ucapan-ucapan yang merendahkan dan melecehkan korban di hadapan semua pihak yang hadir. Ironisnya, tim yang hadir pada saat itu justru menanggapi ucapan tersebut dengan tertawa, menunjukkan kurangnya sensitivitas dan pemahaman terhadap dampak dari pelecehan verbal.

Berikut poin-poin penting yang perlu diperhatikan:

  • Dugaan upaya damai oleh mantan Rektor ETH kepada korban pelecehan.
  • Kondisi psikologis korban yang terguncang dan membutuhkan perlindungan hukum.
  • Dugaan adanya tekanan dan intervensi dari pihak luar terhadap proses hukum.
  • Komitmen Kemnaker untuk menggunakan seluruh instrumen hukum untuk melindungi korban.
  • Dua korban telah melapor, namun diduga jumlah korban lebih banyak.
  • Kasus pelecehan terjadi dalam konteks kerjasama antara perusahaan korban dan Universitas Pancasila.
  • Pelecehan meliputi tindakan fisik dan verbal.