Kepemilikan Tanah oleh Koperasi: Antara Hak Milik dan Kesejahteraan Bersama
Urgensi Hak Milik Tanah bagi Koperasi: Menjaga Identitas Perkumpulan Orang
Sebagai sebuah perkumpulan orang, bukan modal, urgensi koperasi dalam menguasai tanah berbasis Hak Milik (HM) atas nama Badan Hukum Koperasi (BHK) perlu dikaji secara mendalam. Bagaimana cara memitigasi risiko kelembagaan agar penguasaan tanah berbasis HM tetap menjaga koperasi sebagai perkumpulan orang, dan tidak bergeser menjadi perkumpulan modal? Konsep "asset specificity" menjadi kunci dalam memahami dinamika ini.
Asset Specificity dalam Koperasi
Terdapat empat kategori asset specificity yang memengaruhi seseorang bergabung atau membentuk koperasi:
- Human asset specificity: Keterampilan, pengetahuan, dan kemampuan individu dalam bidang tertentu, seperti beternak, merupakan modalitas penting bagi anggota koperasi pertanian (peternakan).
- Physical asset specificity: Kepemilikan aset fisik seperti sapi perah, kandang, peralatan produksi, dan bahkan tanah pribadi menjadi modal penting bagi peternak yang ingin bergabung dengan Koperasi Peternak Susu.
- Site asset specificity: Kedekatan lokasi tempat tinggal peternak dengan fasilitas pengolahan susu bersama menjadi faktor penting dalam keanggotaan Koperasi Peternak Susu. Keterlekatan teritorial ini penting bagi keberlangsungan koperasi pertanian.
- Dedicated asset: Investasi bersama dalam bentuk kilang dan teknologi pengolahan susu memiliki nilai tertinggi jika digunakan bersama oleh anggota koperasi. Aset ini menjadi daya ikat (centripetal forces) yang menjaga kenyamanan dan loyalitas anggota terhadap koperasi.
Jaringan usaha juga termasuk dedicated asset. Struktur vertikal dalam bentuk koperasi sekunder dan tersier penting sebagai mitigasi kelembagaan.
Tanah dan Penguasaan Atasnya
Tanah, sebagai faktor produksi dengan suplai tetap, tidak dapat dipindahkan, dan multiguna, memiliki peran sentral dalam kegiatan produksi. Hukum pertanahan mengatur berbagai hak penguasaan atas tanah, termasuk Hak Milik (HM), Hak Guna Usaha (HGU), Hak Guna Bangunan (HGB), dan Hak Pakai (HP).
Hak Milik adalah hak terkuat terkait penguasaan tanah. Warga Negara Indonesia (WNI) memiliki akses untuk memperoleh HM. Jika anggota koperasi memiliki tanah berbasis HM, tanah tersebut adalah aset fisik miliknya, bukan aset koperasi.
Selain individu, HM juga diberikan kepada badan hukum, yaitu Bank Negara, badan keagamaan dan sosial yang ditunjuk pemerintah, dan koperasi pertanian. Pemberian HM kepada koperasi pertanian dilandasi pemikiran bahwa koperasi pertanian membutuhkan penguasaan tanah yang kuat. Namun, akses ini dibatasi maksimum 25 hektar.
Meskipun akses HM terbatas, semua BHK memiliki akses untuk menguasai tanah melalui HGU, HGB, dan HP. Beberapa koperasi bahkan memiliki HGU atas nama BHK dalam penyelenggaraan kebun kelapa sawit. HGU ini dapat dikategorikan sebagai dedicated asset.
Namun, tidak banyak koperasi yang mampu memenuhi ketentuan Peraturan Pemerintah Nomor 26 Tahun 2021 tentang Penyelenggaraan Bidang Pertanian, yang mensyaratkan luas minimum 6000 Ha untuk Perusahaan Perkebunan (termasuk BHK).
Selain memperjuangkan pengakuan hak milik atas tanah, gerakan koperasi juga perlu mendalami ketentuan PP 26/2021, yang dapat menghambat kemajuan produktif koperasi.
Dalam praktiknya, terdapat varian penguasaan tanah melalui perjanjian nominee (akta pinjam nama), yang berpotensi melibatkan warga negara asing atau koperasi.
Perbedaan Status Tanah
Dari perspektif asset specificity, terdapat perbedaan mendasar antara status tanah yang dikuasai oleh petani anggota koperasi dengan tanah yang dikuasai oleh koperasi pertanian, meskipun keduanya berbasis HM.
Tanah yang dikuasai anggota koperasi adalah aset produksi miliknya secara individual (physical asset). Sebaliknya, tanah yang dikuasai koperasi pertanian bukanlah aset individu anggota.
Tanah berbasis HM atas nama BHK bukanlah physical asset milik anggota, melainkan dedicated asset yang hanya ada karena adanya koperasi. Nilai gunanya maksimal jika digunakan bersama dengan dedicated asset lain.
Tanah berbasis HM atas nama BHK berperan sebagai centripetal forces, perekat anggota. Setiap anggota harus berpikir bahwa nilai guna tanah maksimal jika koperasi berkembang menjadi badan usaha yang sehat.
Akses HM atas tanah untuk koperasi, yang saat ini terbatas pada koperasi pertanian, dapat diperluas ke semua jenis koperasi, asalkan tanah HM atas nama BHK diperlakukan sebagai dedicated asset untuk kemaslahatan bersama, bukan aset individu.
Mitigasi Risiko Kelembagaan
Jika akses HM atas nama BHK diperluas, risiko kelembagaan perlu diantisipasi dan dimitigasi. Potensi perjanjian nominee dapat menjadikan koperasi sebagai cangkang untuk menyembunyikan physical asset individual, sehingga tanah tidak berfungsi sebagai dedicated asset.
Mitigasi risiko dapat dilakukan dengan mengadopsi pengaturan Pasal 68 ayat (2) UU 16/2001 tentang Yayasan, di mana sisa hasil likuidasi diserahkan kepada yayasan lain yang memiliki tujuan sama atau kepada negara.
UU Perkoperasian perlu mengatur:
- Akses penguasaan tanah berbasis HM atas nama BHK untuk semua jenis koperasi.
- Penegasan bahwa tanah berbasis HM atas nama BHK bukanlah aset individu, melainkan dedicated asset untuk kemaslahatan bersama.
- Larangan akta pinjam nama melalui perjanjian nominee.
- Penyerahan tanah berbasis HM atas nama BHK kepada negara jika koperasi dibubarkan dan dilikuidasi.
Semua ketentuan ini harus dicantumkan dalam Akta Pendirian Koperasi.