Kampanye Disinformasi Serang Kejaksaan Agung, Ratusan Buzzer Diduga Terlibat
Kejaksaan Agung (Kejagung) menghadapi serangan kampanye disinformasi yang terstruktur. Diduga, sekitar 150 buzzer telah direkrut dan dibayar untuk menyebarkan narasi negatif yang merugikan citra lembaga tersebut terkait penanganan beberapa kasus besar. Bayaran yang dijanjikan kepada masing-masing buzzer mencapai Rp 1,5 juta.
Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, mengungkapkan bahwa dalang di balik perekrutan dan operasional buzzer ini adalah M Adhiya Muzakki, yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan menghalangi proses hukum. Adhiya diduga mengendalikan jaringan buzzer yang terorganisir dalam beberapa tim dengan nama sandi.
"Tersangka Adhiya merekrut, menggerakkan, dan mendanai para buzzer ini dengan imbalan sekitar Rp 1,5 juta per orang. Tujuan mereka adalah untuk merespon dan menyebarkan komentar-komentar negatif terkait pemberitaan yang menyudutkan Kejagung," jelas Abdul Qohar dalam konferensi pers.
Selain Adhiya, Kejagung juga telah menetapkan tiga tersangka lain yang diduga terlibat dalam upaya perintangan perkara ini. Mereka adalah Marcella Santoso (seorang advokat), Junaedi Saibih (juga seorang advokat), dan Tian Bahtiar (Direktur Pemberitaan non-aktif dari sebuah stasiun televisi).
Modus operandi yang terungkap menunjukkan bahwa Tian Bahtiar berperan dalam memproduksi konten-konten bernarasi negatif atas arahan dan petunjuk dari Marcella dan Junaedi. Konten-konten tersebut kemudian disebarluaskan oleh para buzzer yang dikendalikan oleh Adhiya.
"Tian membuat video dan konten negatif yang dipublikasikan melalui berbagai platform media sosial seperti TikTok, Instagram, dan Twitter. Materi yang digunakan bersumber dari tersangka MS dan tersangka JS, yang berisi narasi-narasi yang mendiskreditkan penanganan perkara oleh Jampidsus Kejaksaan Agung," lanjut Qohar.
Konten-konten disinformasi ini kemudian disebarkan secara masif melalui berbagai kanal media sosial dan media online.
Penetapan Adhiya sebagai tersangka merupakan tindak lanjut dari pengembangan penyidikan kasus dugaan suap terkait penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang melibatkan tiga korporasi besar. Penyidik menduga adanya pemufakatan jahat untuk menjatuhkan reputasi Kejaksaan Agung dan jajaran Jampidsus melalui pembentukan opini publik yang negatif.
Atas perbuatannya, Adhiya diduga telah memperoleh keuntungan finansial sebesar Rp 864,5 juta. Ia dijerat dengan pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Saat ini, Adhiya ditahan di Rutan Salemba cabang Kejaksaan Agung untuk kepentingan penyidikan lebih lanjut.
Sebelumnya, penyidik telah menetapkan dan menahan tiga tersangka lainnya, yaitu Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bahtiar.
Kasus ini bermula dari pengembangan penyidikan dugaan suap dalam penanganan perkara ekspor CPO yang melibatkan PT Wilmar Group, PT Permata Hijau Group, dan PT Musim Mas Group. Kejaksaan Agung sebelumnya telah menetapkan delapan tersangka dalam kasus dugaan suap penanganan perkara di PN Jakarta Pusat terkait vonis lepas ekspor CPO terhadap tiga perusahaan tersebut.
Para tersangka tersebut antara lain Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan, Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. Selain itu, tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Dalam perkembangan terbaru, Social Security Legal Wilmar Group, Muhammad Syafei, juga ditetapkan sebagai tersangka karena diduga menjadi pihak yang menyiapkan uang suap sebesar Rp 60 miliar untuk hakim Pengadilan Tipikor Jakarta melalui pengacaranya.
Kejaksaan menduga Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap sebesar Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, sebagai majelis hakim, diduga menerima uang suap sebesar Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diberikan dengan tujuan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO memberikan vonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging.
Vonis lepas adalah putusan hakim yang menyatakan bahwa terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.