Ancaman 'Sell in May and Go Away' Hantui Pasar Saham Indonesia

Kewaspadaan membayangi pasar modal Indonesia seiring dengan proyeksi potensi terjadinya fenomena 'sell in May and go away'. Istilah yang sudah tak asing lagi di telinga para investor ini mengisyaratkan adanya periode penurunan performa pasar saham yang umumnya terjadi di bulan Mei.

Mirae Asset Sekuritas Indonesia mengungkapkan bahwa kondisi ekonomi saat ini belum sepenuhnya merefleksikan tantangan yang akan datang. Rully Arya Wisnubroto, Head of Research & Chief Economist Mirae Asset Sekuritas, menyampaikan kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi global yang diperkirakan akan berlanjut di kuartal mendatang dapat memicu pelemahan fundamental perusahaan. Situasi ini, menurutnya, meningkatkan probabilitas terjadinya aksi jual di bulan Mei.

Rully mengamati adanya indikasi investor institusi yang mulai mengurangi posisinya di pasar saham. Tren ini membuka kemungkinan investor ritel akan mengikuti jejak serupa, setidaknya untuk sementara waktu.

Fenomena 'sell in May and go away' sendiri bukanlah hal baru. Ungkapan ini telah lama menjadi bagian dari strategi investasi, terutama di pasar modal negara-negara Barat. Secara sederhana, strategi ini menyarankan investor untuk mengurangi kepemilikan saham mereka sebelum bulan Mei tiba, dan kembali berinvestasi setelah melewati periode musim panas, biasanya sekitar bulan November.

Asal usul istilah ini dapat ditelusuri hingga pepatah kuno Inggris: "Sell in May and go away, and come back on St. Leger's Day." Dahulu, para pedagang, bangsawan, dan bankir di London memiliki tradisi meninggalkan kota selama musim panas. Mereka baru kembali pada bulan September untuk menghadiri acara pacuan kuda St. Leger's Day yang terkenal di Doncaster, South Yorkshire.