Danantara dan Kebangkitan Kapitalisme Negara: Implikasi Ekonomi dan Politik di Indonesia

Sovereign Wealth Fund (SWF) dan Transformasi Ekonomi Indonesia

Sovereign Wealth Fund (SWF) telah menjadi kekuatan signifikan dalam lanskap keuangan global. Kemunculannya sebagai instrumen investasi negara menjadi semakin relevan, terutama bagi negara-negara yang berupaya mengelola surplus devisa dan mendorong pertumbuhan ekonomi jangka panjang. Fenomena ini bukan lagi sekadar tren sesaat, melainkan evolusi dalam cara negara berpartisipasi dalam ekonomi global.

Sejarah dan Evolusi SWF

Konsep SWF modern pertama kali muncul pada tahun 1950-an di Kuwait dengan Kuwait Investment Office (KIO), yang kemudian menjadi Kuwait Investment Authority (KIA). Meskipun Arab Saudi mendahului dengan Saudi Monetary Authority (SMA), yang bertugas mengelola kelebihan devisa dari booming minyak, KIO/KIA dianggap sebagai SWF pertama dalam bentuknya yang kita kenal sekarang. Satu dekade kemudian, Abu Dhabi mengikuti jejak Kuwait dengan mendirikan ADIA (Abu Dhabi Investment Authority), yang juga didorong oleh surplus devisa setelah krisis minyak tahun 1970-an.

Negara-negara Timur Tengah penghasil minyak adalah pionir SWF. Mereka mendapati diri mereka dengan surplus besar dalam bentuk dolar AS (cadangan devisa asing) dan membutuhkan lembaga khusus untuk mengelolanya. Tujuannya adalah untuk menstabilkan ekonomi makro, melakukan lindung nilai (hedging), dan mendorong pembangunan ekonomi. Logika yang sama juga mendorong pembentukan SWF di Norwegia, Singapura, dan Malaysia pada tahun 1970-an. Norwegia, dengan SWF terbesar di dunia, bertujuan untuk menabung untuk generasi mendatang, menghindari Dutch Disease (penyakit Belanda), dan meningkatkan daya saing ekonomi melalui investasi dalam SDM dan teknologi.

Tujuan Pendirian SWF

  • Menabung untuk generasi mendatang: Dana dikelola pada aset-aset finansial global secara sangat hati-hati (economic sustainability reason). Sehingga yield menjadi motivasi utamanya.
  • Menghindari Dutch Desease: Daya saing ekonomi Norwegia tidak luntur karena penguatan mata uang domestik sebagai akibat dari penumpukan devisa dalam bentuk dollar.
  • Mendongkrak daya saing perekonomian: Dananya dibelanjakan untuk investasi SDM (kesehatan dan pendidikan) dan teknologi, belakangan ditambahkan untuk mendukung climate change dan lingkungan.

Singapura (Temasek dan GIC) dan Malaysia (Khazanah) mendirikan SWF untuk meningkatkan daya saing ekonomi mereka di tengah munculnya negara-negara baru dengan biaya tenaga kerja murah. Krisis Asia dan krisis keuangan global 2008 melahirkan SWF generasi berikutnya, yang berfokus pada stabilisasi ekonomi di Taiwan, Korea Selatan, dan China.

Setelah krisis finansial global 2008, akhirnya juga muncul SWF dengan mandat strategis bertajuk intervensi negara pada pembangunan karena faktor secular stagnation dan untuk keamanan ekonomi (membeli perusahaan strategis nasional yang akan dicaplok oleh negara tertentu, misalnya). SWF ini dikenal dengan strategic development SWF. China memiliki SWF untuk misi-misi tersebut, yang diposisikan berada di bawah SASAC.

Danantara dan Arah Baru Ekonomi Indonesia

Kini, Indonesia memasuki era baru dengan Danantara, sebuah Strategic Investment SWF yang mencerminkan visi pemerintah untuk intervensionisme ekonomi. Danantara akan menjadi instrumen utama untuk mendorong pembangunan dan meningkatkan daya saing Indonesia, terutama dalam infrastruktur, industri, dan teknologi.

Namun, kehadiran Danantara juga menimbulkan pertanyaan tentang peran negara dalam ekonomi. Secara ekonomi makro akan terjadi pengecilan peran swasta di dalam ekonomi, karena keterbatasan ruang ekonomis untuk modal-modal swasta berperan. Hal ini menandai peningkatan signifikan dalam peran pemerintah dalam perekonomian nasional, mirip dengan model yang diterapkan di Singapura, Malaysia, China, dan Rusia.

Implikasi dan Tantangan

Implikasi dari kehadiran Danantara sangat luas.

  • Pertama, secara ekonomi makro akan terjadi pengecilan peran swasta di dalam ekonomi, karena keterbatasan ruang ekonomis untuk modal-modal swasta berperan.
  • Kedua, crowding out capital. Karena Danantara juga berperan untuk menghimpun dana pihak ketiga, terutama dari investor-investor besar global dan domestik, khususnya untuk proyek-proyek strategis dengan jaminan pemerintah, maka likuiditas untuk pihak swasta dan UMKM kemungkinan besar akan berkurang.
  • Ketiga, karena pembesaran peran negara di satu sisi dan pengurangan liquiditas di pasar di sisi lain, pengaruh dan peran swasta mau tak mau pelan-pelan akan terkikis, atau tepatnya “terlemahkan”, yang membuat pemerintah secara politik menjadi bertambah “berkuasa” karena menjadi satu-satunya pemilik modal tak terbatas di dalam negara.

Penelitian menunjukkan bahwa SWF cenderung muncul di negara-negara yang kurang demokratis, di mana kekuatan pasar tidak terlalu kuat. Munculnya Danantara di Indonesia menimbulkan pertanyaan tentang keseimbangan antara intervensi negara dan peran sektor swasta. Meskipun SWF dapat menjadi alat yang efektif untuk meningkatkan daya saing ekonomi, ada risiko bahwa hal itu dapat menyebabkan dominasi negara dalam ekonomi dan mengurangi ruang bagi investasi swasta.

Dengan demikian, Danantara memiliki potensi untuk mengubah lanskap ekonomi Indonesia. Namun, keberhasilannya akan bergantung pada transparansi, akuntabilitas, dan kemampuan untuk menciptakan lingkungan investasi yang adil bagi semua pelaku ekonomi. Tantangan utamanya adalah memastikan bahwa Danantara tidak menjadi alat untuk oligarki, tetapi sebaliknya, menjadi pendorong pertumbuhan ekonomi yang inklusif dan berkelanjutan.