Kejagung Bekuk Dalang Buzzer yang Diduga Halangi Penyelidikan Kasus Korupsi
Kejaksaan Agung (Kejagung) telah menahan seorang individu yang diduga sebagai dalang di balik aktivitas buzzer atau pendengung di media sosial. Penangkapan ini merupakan buntut dari dugaan yang bersangkutan dalam menghalangi proses hukum terkait sejumlah kasus korupsi yang tengah ditangani oleh lembaga tersebut.
Identitas individu yang ditangkap tersebut adalah M Adhiya Muzakki (MAM). MAM ditetapkan sebagai tersangka atas dugaan tindak pidana menghalangi penyidikan (obstruction of justice). Menurut Direktur Penyidikan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus) Kejagung, Abdul Qohar, MAM diduga terlibat dalam upaya menghalangi penyidikan pada tiga kasus besar, yaitu:
- Dugaan korupsi di PT Timah
- Dugaan korupsi impor gula
- Dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO)
Dalam konferensi pers yang digelar di Gedung Bundar Jampidsus Kejaksaan Agung, Abdul Qohar menjelaskan bahwa MAM adalah ketua dari sebuah tim cyber army. MAM diduga berkolaborasi dengan sejumlah pihak, termasuk Advokat Marcella Santoso (MS), Junaedi Saibih (JS), dan Direktur Pemberitaan nonaktif JAK TV, Tian Bahtiar (TB), yang sebelumnya telah ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus yang sama.
Modus operandi yang dilakukan oleh para tersangka adalah dengan membentuk narasi negatif yang bertujuan untuk mendiskreditkan Kejaksaan Agung, khususnya dalam penanganan kasus-kasus korupsi. MAM berperan dalam membuat konten-konten negatif yang kemudian disebarkan melalui berbagai platform media sosial dan media online. Selain itu, MAM juga membentuk tim siber yang bertugas untuk menggerakkan para buzzer.
"Tersangka MAM atas permintaan MS bersepakat untuk membuat tim cyber army untuk menjadi lima tim yang (anggotanya) berjumlah sekitar 150 orang buzzer," ungkap Qohar.
Adhiya Muzakki diduga merekrut sekitar 150 buzzer yang kemudian dibagi menjadi lima tim dengan nama Mustafa 1 hingga Mustafa 5. Para buzzer ini diinstruksikan untuk menyebarkan dan memberikan komentar pada konten-konten negatif yang dibuat oleh Tian Bahtiar.
Sebagai imbalan atas perannya, Adhiya Muzakki menerima total dana sebesar Rp 864.500.000,00. Sementara itu, masing-masing buzzer yang berada di bawah komandonya menerima upah sebesar Rp 1,5 juta. Dana ini digunakan untuk membiayai aktivitas mereka sebagai "tentara siber" atau cyber army.
Atas perbuatannya, MAM dijerat dengan Pasal 21 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi, sebagaimana diubah menjadi UU Nomor 20 Tahun 2021 jo Pasal 55 Ayat 1 ke-1 KUHP. Saat ini, MAM ditahan di rumah tahanan (rutan) Salemba cabang Kejaksaan Agung selama 20 hari ke depan untuk kepentingan penyidikan.
Penetapan MAM sebagai tersangka merupakan hasil pengembangan dari penyidikan terhadap Marcella Santoso, Junaedi Saibih, dan Tian Bahtiar. Ketiganya telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka dalam kasus perintangan penyidikan perkara dugaan suap penanganan perkara ekspor crude palm oil (CPO) yang bergulir di Pengadilan Tipikor, Jakarta Pusat.
Kasus suap penanganan perkara ekspor CPO ini sendiri melibatkan sejumlah nama, termasuk Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan (Jaksel), Muhammad Arif Nuryanta, Panitera Muda Perdata Jakarta Utara, Wahyu Gunawan (WG), serta kuasa hukum korporasi, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri. Selain itu, tiga majelis hakim yang memeriksa dan mengadili perkara ekspor CPO, yakni Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, juga ditetapkan sebagai tersangka.
Kejaksaan menduga bahwa Muhammad Arif Nuryanta, yang saat itu menjabat sebagai Wakil Ketua PN Jakarta Pusat, menerima suap Rp 60 miliar. Sementara itu, tiga hakim, Djuyamto, Agam Syarif Baharuddin, dan Ali Muhtarom, sebagai majelis hakim, diduga menerima uang suap Rp 22,5 miliar. Suap tersebut diberikan agar majelis hakim yang menangani kasus ekspor CPO divonis lepas atau ontslag van alle recht vervolging, yang berarti terdakwa terbukti melakukan perbuatan yang didakwakan, tetapi perbuatan tersebut tidak termasuk dalam kategori tindak pidana.