Tantangan Industri Penerbangan Nasional: Mengapa Armada Pesawat Semakin Menyusut?

Menyusutnya Armada Udara Nasional: Sebuah Alarm bagi Industri Penerbangan

Industri penerbangan Indonesia tengah menghadapi tantangan serius dengan menyusutnya jumlah pesawat yang beroperasi. Fenomena ini, yang ditandai dengan banyaknya pesawat yang harus dikandangkan untuk perawatan, memicu kekhawatiran tentang keberlanjutan konektivitas udara di tanah air.

Sorotan tajam tertuju pada maskapai Garuda Indonesia dan Citilink, yang dilaporkan mengandangkan sejumlah besar pesawat untuk menjalani perawatan berat atau heavy maintenance. Kendala utama yang dihadapi adalah sulitnya mendapatkan suku cadang yang diperlukan. Proses impor yang rumit memperpanjang waktu perawatan, sehingga pesawat harus lebih lama berada di bengkel. Situasi ini tidak hanya dialami oleh Garuda Indonesia, tetapi juga oleh maskapai penerbangan lainnya di Indonesia. Dari total 597 pesawat yang terdaftar, hanya 407 yang siap beroperasi pada periode Lebaran lalu. Maskapai seperti Lion Air, Batik Air, Wings Air, Super Air Jet, Sriwijaya Air, Nam Air, dan Indonesia AirAsia juga mengalami masalah serupa.

Akar Permasalahan: Biaya Perawatan dan Ketergantungan Impor

Beberapa faktor menjadi penyebab utama berkurangnya jumlah pesawat yang beroperasi. Kerusakan parah akibat kecelakaan menjadi salah satu penyebabnya. Perawatan rutin dan perbaikan juga menjadi faktor signifikan. Selain itu, penarikan pesawat oleh lessor atau masalah pendanaan internal maskapai juga berkontribusi pada masalah ini.

Namun, penyebab terbesar adalah biaya perawatan pesawat yang tinggi, baik di dalam maupun luar negeri, serta keterlambatan pasokan suku cadang. Kemampuan bengkel perawatan pesawat (MRO) di Indonesia belum sepenuhnya mampu menangani semua aspek perawatan pesawat. Sebagian besar suku cadang pesawat, termasuk komponen kecil seperti sekrup dan karpet, harus diimpor. Ketergantungan pada impor ini menyebabkan biaya perawatan membengkak, terutama karena transaksi menggunakan mata uang dolar AS.

Sebagai ilustrasi, perawatan berkala C-check untuk pesawat Boeing B737 atau Airbus A320 membutuhkan biaya sekitar 500.000 dollar AS, di mana sebagian besar biaya tersebut digunakan untuk membeli suku cadang. Overhaul mesin pesawat bisa mencapai 11 juta dollar AS, dengan sebagian besar biaya dialokasikan untuk suku cadang. Ironisnya, maskapai masih dibebani pajak bea masuk untuk suku cadang tersebut, menambah beban biaya operasional mereka.

Dampak dan Solusi yang Mungkin

Biaya perawatan pesawat di Indonesia merupakan salah satu yang tertinggi setelah harga avtur, yaitu mencapai 16 persen dari total biaya operasional penerbangan. Pendapatan maskapai yang cenderung stagnan sejak tahun 2019, akibat tarif penerbangan yang diatur pemerintah, semakin memperburuk situasi. Kenaikan kurs dolar AS terhadap rupiah juga menambah beban biaya perawatan.

Untuk mengatasi masalah ini, pemerintah dapat memberikan bantuan kepada maskapai penerbangan dan bengkel MRO Indonesia. Beberapa langkah yang bisa dilakukan adalah membebaskan bea masuk suku cadang dan mesin pesawat, mempermudah proses impor, serta membantu maskapai dalam mendapatkan suku cadang dengan harga yang lebih terjangkau.

Dalam jangka menengah dan panjang, pemerintah perlu memperkuat industri komponen pesawat di dalam negeri. Pemerintah dapat memberlakukan skema part manufacturer approval (PMA) dan membantu industri dalam negeri untuk mendapatkan sertifikasi dari pabrikan pesawat dan pihak asuransi penerbangan. Langkah-langkah ini perlu segera diambil untuk menambah jumlah pesawat yang beroperasi dan memperkuat industri penerbangan nasional.