Skandal Satelit Kemhan: Mantan Kepala Baranahan Jadi Tersangka Korupsi

Kejaksaan Agung (Kejagung) menetapkan mantan Kepala Badan Sarana Pertahanan (Baranahan) Kementerian Pertahanan (Kemhan), Laksamana Muda (Purn) Leonardi, sebagai tersangka dalam kasus dugaan korupsi pengadaan user terminal untuk satelit slot orbit 1230 BT pada Kemhan tahun 2016. Penetapan ini merupakan buntut dari penandatanganan kontrak yang bermasalah dengan perusahaan Navayo International AG.

Diduga kuat, Leonardi menandatangani kontrak dengan Navayo International AG, sebuah perusahaan asal Hungaria, tanpa melalui prosedur pengadaan yang semestinya. Kontrak senilai USD 34.194.300, yang kemudian direvisi menjadi USD 29.900.000, tersebut terkait penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan terkait satelit.

Menurut Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung, Brigjen Andi Suci, penunjukan Navayo International AG sebagai pihak ketiga dalam proyek ini tidak melalui proses pengadaan barang dan jasa yang sah. Fakta yang lebih mengejutkan adalah rekomendasi Navayo International AG berasal dari Anthony Thomas Van Der Hayden, yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit Kemhan.

Setelah kontrak ditandatangani, Navayo International AG mengklaim telah melaksanakan pekerjaan dan mengirimkan barang ke Kemhan. Berdasarkan klaim ini, Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri, dengan persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, menandatangani empat Surat Certificate of Performance (CoP). Ironisnya, CoP tersebut justru disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden. Lebih lanjut, sebelum CoP ditandatangani, tidak dilakukan verifikasi terhadap keberadaan barang yang dikirim oleh Navayo.

Akibat penerbitan CoP, Navayo International AG mengajukan empat invoice kepada Kemhan untuk menagih pembayaran. Namun, hingga tahun 2019, Kemhan tidak memiliki anggaran untuk pengadaan satelit tersebut. Masalah semakin rumit ketika pada awal tahun 2025, Indonesia kalah dalam arbitrase di Singapura dan harus membayar USD 20.862.822 kepada Navayo.

Kerugian negara akibat proyek ini diperkirakan mencapai USD 21.384.851,89 berdasarkan perhitungan Badan Pengawasan Keuangan dan Pembangunan (BPKP). Kejagung juga melibatkan ahli satelit untuk memeriksa hasil kerja Navayo. Hasil pemeriksaan terhadap 550 handphone yang dijadikan sampel menunjukkan bahwa handphone tersebut bukan merupakan handphone satelit dan tidak dilengkapi dengan Secure Chip sesuai spesifikasi kontrak.

Selain itu, master program yang dibuat Navayo, yang tertuang dalam 12 buku Milstone 3 Submission, dinilai tidak dapat membangun program user terminal. Atas dasar temuan ini, Leonardi, Anthony Thomas Van Der Hayden, dan Gabor Kuti (CEO Navayo International AG) ditetapkan sebagai tersangka.

Penetapan tersangka ini juga mempertimbangkan kewajiban pembayaran USD 20.862.822 berdasarkan putusan arbitrase Singapura dan permohonan penyitaan aset negara di Paris oleh Navayo International AG. Ketiga tersangka dijerat dengan pasal berlapis terkait tindak pidana korupsi, termasuk pelanggaran Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi.

Kasus ini menjadi sorotan karena melibatkan mantan pejabat tinggi Kemhan dan dugaan penyimpangan dalam proses pengadaan yang mengakibatkan kerugian negara yang signifikan serta potensi ancaman terhadap aset negara di luar negeri.

Kasus ini menyeret beberapa nama dengan peran yang berbeda:

  • Laksamana Muda (Purn) Leonardi: Mantan Kepala Baranahan Kemhan, diduga menandatangani kontrak bermasalah tanpa prosedur yang sah.
  • Anthony Thomas Van Der Hayden: Tenaga Ahli Satelit Kemhan, diduga merekomendasikan Navayo International AG dan menyiapkan Certificate of Performance (CoP).
  • Gabor Kuti: CEO Navayo International AG, perusahaan asal Hungaria yang menjadi kontraktor dalam proyek ini.
  • Letkol Tek Jon Kennedy Ginting & Kolonel Chb Masri: Diduga turut serta menandatangani CoP tanpa verifikasi.
  • Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan: Diduga memberikan persetujuan penandatanganan CoP.

Dampak dari kasus ini tidak hanya kerugian finansial, tetapi juga berpotensi merusak citra dan kepercayaan publik terhadap institusi pertahanan negara.