Sengketa Satelit: Kejaksaan Agung Usut Klaim Ganti Rugi Navayo yang Diduga Bermasalah

Sengketa Satelit: Kejaksaan Agung Usut Klaim Ganti Rugi Navayo yang Diduga Bermasalah

Kejaksaan Agung (Kejagung) saat ini tengah mendalami proses arbitrase internasional yang melibatkan perusahaan Navayo International AG terkait klaim ganti rugi sebesar 24,1 juta Dolar AS. Sengketa ini bermula dari kontrak pengadaan terminal pengguna jasa satelit di Kementerian Pertahanan (Kemhan).

Kepala Pusat Penerangan Hukum (Kapuspenkum) Kejagung, Harli Siregar, menyatakan bahwa kasus ini sedang ditangani oleh bidang Perdata dan Tata Usaha Negara (Datun) Kejagung. Penyelidikan difokuskan pada dugaan adanya faktur tagihan (invoice) fiktif yang diajukan Navayo sebagai dasar gugatan di International Criminal Court (ICC).

Direktur Penindakan Jampidmil Kejagung, Brigjen Andi Suci, mengungkapkan bahwa Navayo diduga menggunakan invoice fiktif tersebut dalam proses arbitrase. Dugaan ini muncul setelah penyidik mendalami kerja sama antara Navayo dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, yang saat itu menjabat sebagai Kepala Badan Sarana Pertahanan Kemhan dan Pejabat Pembuat Komitmen (PPK).

Kronologi kasus ini bermula pada 1 Juli 2016, ketika Leonardi selaku PPK menandatangani kontrak dengan Gabor Kuti, CEO Navayo International AG, terkait penyediaan terminal pengguna jasa dan peralatan terkait senilai 34.194.300 Dolar AS, yang kemudian direvisi menjadi 29.900.000 Dolar AS. Penunjukan Navayo sebagai pihak ketiga dalam proyek ini diduga tidak melalui prosedur pengadaan barang dan jasa yang sesuai.

Navayo direkomendasikan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, yang saat itu menjabat sebagai Tenaga Ahli Satelit Kementerian Pertahanan. Setelah penandatanganan kontrak, Navayo menjadi kontraktor pelaksana pengadaan terminal pengguna satelit untuk Kemhan. Perusahaan tersebut mengklaim telah mengirimkan barang kepada Kemhan.

Atas dasar klaim pengiriman barang tersebut, Letkol Tek Jon Kennedy Ginting dan Kolonel Chb Masri, dengan persetujuan Mayor Jenderal TNI (Purn) Bambang Hartawan dan Laksamana Muda TNI (Purn) Leonardi, menandatangani empat Surat Certificate of Performance (CoP) atau Sertifikat Kinerja. Ironisnya, CoP tersebut justru disiapkan oleh Anthony Thomas Van Der Hayden, tanpa adanya verifikasi terhadap keberadaan barang yang dikirim oleh Navayo sebelum penandatanganan.

Setelah CoP diterbitkan, Navayo mengirimkan empat invoice kepada Kemhan untuk menagih pembayaran. Namun, Kemhan tidak memiliki anggaran pengadaan satelit hingga tahun 2019. Pada awal tahun 2025, Arbitrase Singapura memutuskan bahwa Indonesia harus membayar 20.862.822 Dolar AS kepada Navayo.

"Kementerian Pertahanan RI harus membayar sejumlah 20.862.822 Dolar AS berdasarkan Final Award Putusan Arbitrase Singapura karena telah menandatangani Certificate of Performance (CoP)," jelas Harli.

Kejaksaan Agung saat ini tengah fokus untuk membuktikan dugaan adanya invoice fiktif dan potensi pelanggaran hukum dalam proses pengadaan tersebut. Tiga tersangka telah ditetapkan dalam kasus ini, dan proses hukum terus berjalan.

Berikut Poin penting terkait berita diatas:

  • Sengketa Arbitrase: Indonesia menghadapi tuntutan ganti rugi dari Navayo International AG terkait kontrak pengadaan satelit.
  • Dugaan Faktur Fiktif: Kejaksaan Agung menyelidiki indikasi penggunaan faktur tagihan palsu oleh Navayo dalam gugatan arbitrase.
  • Proses Pengadaan Bermasalah: Penunjukan Navayo sebagai kontraktor diduga tidak melalui prosedur yang benar.
  • Sertifikat Kinerja Tanpa Verifikasi: Penerbitan Certificate of Performance (CoP) oleh pejabat Kemhan tanpa pengecekan fisik barang yang dikirim.
  • Putusan Arbitrase: Indonesia diharuskan membayar sejumlah uang kepada Navayo berdasarkan putusan arbitrase Singapura.