RUU KUHAP: Pembagian Peran Penyidik dan Penuntut Sesuai Sistem Hukum yang Berlaku

Rancangan Undang-Undang Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (RUU KUHAP) masih menjadi perbincangan hangat, terutama mengenai pembagian wewenang antara Kejaksaan dan Kepolisian. Wakil Menteri Hukum (Wamenkum) Edward Omar Sharif Hiariej menekankan pentingnya diferensiasi fungsional dalam sistem peradilan pidana di Indonesia. Menurutnya, penetapan Polri sebagai penyidik utama dalam penanganan tindak pidana sejalan dengan prinsip-prinsip hukum yang berlaku.

"Peran Polri sebagai garda terdepan dalam penyidikan tindak pidana adalah fondasi yang kuat dalam sistem hukum kita," ujar Wamenkum. Ia menambahkan bahwa keberadaan Penyidik Pegawai Negeri Sipil (PPNS) sebagai supporting accessories investigator merupakan elemen pelengkap yang esensial. PPNS, dalam hal ini, bertugas membantu Polri dalam proses penyidikan berbagai jenis tindak pidana, namun tetap berada di bawah koordinasi dan pengawasan Korps Bhayangkara.

Konsep criminal integrated justice system, menurut Wamenkum, menggarisbawahi pembagian peran yang jelas dan tegas. Polri bertindak sebagai penyidik, Jaksa sebagai penuntut, dan Hakim sebagai pihak yang memutus perkara. Pembagian ini memastikan proses peradilan berjalan efektif dan sesuai dengan prinsip keadilan.

Sebelumnya, Ketua Komisi III DPR Habiburokhman menjelaskan bahwa draf RUU KUHAP yang beredar dan membatasi kewenangan Jaksa hanya pada penyidikan kasus pelanggaran HAM berat bukanlah versi final. Ia menegaskan bahwa draf final mencantumkan istilah 'penyidik tertentu', yang merujuk pada penyidik KPK, Kejaksaan, atau OJK sebagaimana diatur dalam undang-undang terkait.

Habiburokhman menekankan bahwa RUU KUHAP tidak mengatur secara spesifik kewenangan institusi dalam memeriksa dan menyelidiki kasus. RUU ini berfungsi sebagai pedoman dalam proses pidana, bukan sebagai instrumen yang mendefinisikan kewenangan terhadap tindak pidana tertentu yang diatur dalam undang-undang lain. Ia menambahkan bahwa RUU KUHAP tidak mencabut undang-undang lain yang mengatur materiil, sepanjang tidak berkaitan dengan acara pidana yang diatur dalam KUHAP.

Lebih lanjut, Habiburokhman menjelaskan bahwa pengaturan mengenai penyidik Polri, PPNS, dan penyidik tertentu bertujuan untuk menciptakan koordinasi dan pengawasan yang efektif sesuai dengan ketentuan undang-undang. Ia mencontohkan bahwa Kejaksaan, berdasarkan UU Tipikor dan UU Kejaksaan, tetap memiliki kewenangan dalam menyidik tindak pidana tertentu. Kewenangan ini tetap berlaku dan tidak terpengaruh oleh RUU KUHAP.

Habiburokhman juga menyampaikan bahwa draf RUU KUHAP masih dalam tahap penyempurnaan. DPR terbuka terhadap masukan dari berbagai pihak selama proses pembahasan berlangsung, sehingga RUU ini dapat mengakomodasi kepentingan semua pihak dan memperkuat sistem peradilan pidana di Indonesia.

Beberapa poin penting yang menjadi sorotan dalam pembahasan RUU KUHAP ini meliputi:

  • Pembagian wewenang yang jelas: Antara penyidik (Polri), penuntut (Jaksa), dan hakim.
  • Peran PPNS: Sebagai supporting accessories investigator di bawah koordinasi Polri.
  • Koordinasi dan pengawasan: Antar lembaga penegak hukum.
  • Kewenangan penyidik tertentu: Seperti penyidik KPK, Kejaksaan, dan OJK.
  • Fleksibilitas RUU: Dalam mengakomodasi undang-undang lain yang mengatur tindak pidana tertentu.