Polemik Frasa "Perbuatan Tercela" dalam Pusaran Isu Pemakzulan Wakil Presiden: Urgensi Definisi Konstitusional yang Jelas
Isu pemakzulan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka menghangat, sebuah frasa dalam Undang-Undang Dasar 1945, yaitu "perbuatan tercela," menjadi sorotan utama dan memicu perdebatan sengit di berbagai kalangan. Diskursus ini berkisar pada interpretasi frasa tersebut: apakah maknanya terbatas pada aspek moral, hukum, atau politik, ataukah mencakup ketiganya secara komprehensif?
Bahaya Interpretasi yang Kabur
Kekhawatiran utama yang muncul adalah potensi penyalahgunaan frasa "perbuatan tercela" jika tidak didefinisikan secara jelas dan terukur. Tanpa definisi yang baku, frasa ini berpotensi menjadi pasal karet yang dapat ditarik ulur sesuai dengan tekanan sosial atau kepentingan politik sesaat. Bahkan, beberapa pihak mengusulkan "delesi konstitusional," yaitu penghapusan frasa tersebut melalui amandemen UUD 1945.
Ketidakjelasan makna dalam konstitusi membuka celah bagi interpretasi subjektif dan penyalahgunaan kekuasaan. Bayangkan, tindakan yang dianggap tidak pantas secara sosial, seperti contoh seorang wakil presiden meludah di jalan dan mengenai orang lain secara tidak sengaja, dapat dieksploitasi secara politik sebagai "bukti moral" perbuatan tercela dan dijadikan dasar pemakzulan.
Urgensi Kepastian Hukum
Definisi yang jelas untuk frasa "perbuatan tercela" bukan hanya kebutuhan akademis, tetapi juga keharusan konstitusional untuk menjaga stabilitas negara. Tanpa "batas baku" yang mempositivisasikan frasa ini, kejadian insidental, bahkan yang sepele sekalipun, dapat dieksploitasi secara politik dan dijadikan alasan pemakzulan.
Di era viralitas media sosial, opini publik dapat dengan mudah terpolarisasi dan tersulut oleh kejadian sepele, yang kemudian dapat menyeret pejabat konstitusional dari jabatannya. Padahal, kejadian tersebut mungkin hanya pelanggaran ringan atau bahkan tidak disengaja, bukan pelanggaran etik berat, apalagi pelanggaran konstitusi.
Subordinasi pada Hukum Positif
Frasa "perbuatan tercela" harus ditafsirkan dalam kerangka hukum positif. Artinya, harus dilihat apakah perbuatan tersebut termasuk dalam kategori tindak pidana tertentu, apakah terbukti melalui mekanisme pengadilan, dan apakah memiliki dampak signifikan terhadap kehormatan serta fungsi negara. Tanpa kepastian ini, sistem hukum akan menjadi subjektif dan mudah dipolitisasi.
Negara hukum tidak boleh memiliki pasal yang dapat dijadikan alat represi berdasarkan persepsi. Oleh karena itu, sangat penting untuk mempositivisasikan frasa "perbuatan tercela" melalui aturan turunan, seperti undang-undang, tafsir Mahkamah Konstitusi, atau ketentuan hukum tata negara lainnya, dengan indikator objektif, batasan jelas, dan kriteria pembuktian yang ketat.
Konstitusi Bukan "Kitab Persepsi"
Konstitusi harus dirumuskan dengan penuh kesadaran, kejernihan nalar, dan kewarasan intelektual. Konstitusi bukanlah catatan harian emosional atau wahana melampiaskan pengalaman subjektif. Ia adalah kontrak agung yang mengatur sistem kehidupan bersama dalam sebuah negara. Oleh sebab itu, setiap kata, frasa, dan kalimatnya harus tahan uji waktu, tafsir, logika, dan kekuasaan.
Konstitusi tidak boleh terjebak dalam inkonsistensi dan multitafsir akibat terlalu banyak menyerap dorongan sesaat tanpa penyaringan rasional. Konstitusi bukanlah "kitab traumatik," melainkan pedoman normatif yang menjamin tata negara. Setiap kata dalam konstitusi harus melewati uji etik, logika tata negara, dan pengujian epistemik. Konstitusi bukanlah kumpulan puisi atau opini editorial yang subjektif, melainkan hukum tertinggi yang menjadi panglima dalam setiap benturan norma.
Memasukkan istilah-istilah kabur dan multitafsir adalah kecerobohan konstitusional yang membahayakan generasi mendatang. Konstitusi harus dirumuskan dengan asumsi rasional. Tidak semua pengalaman perlu dibakukan dalam norma dan tidak semua ketakutan perlu dilembagakan dalam pasal norma agung.
Negara dan Persepsi
Membiarkan negara ditentukan oleh persepsi sama saja dengan menempatkan bangunan di atas fondasi pasir yang mudah roboh. Persepsi publik, seberapa luas pun, tidak dapat menghapus mandat konstitusional seseorang. Negara yang tunduk pada persepsi akan kesulitan membangun kepercayaan publik karena masyarakat akan terus-menerus menguji legitimasi negara berdasarkan tren, bukan norma hukum.
Dalam demokrasi yang matang, suara rakyat memang penting, tetapi suara itu harus dikristalisasi dalam proses konstitusional yang sahih dan ajeg.