Revisi UU BUMN: Jerat Hukum Korupsi Direksi Tetap Terbuka

Revisi Undang-Undang Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang baru disahkan pada tahun 2025 menuai berbagai tanggapan. Salah satu isu krusial yang muncul adalah terkait potensi impunitas bagi direksi BUMN yang melakukan tindak pidana korupsi. Menanggapi kekhawatiran tersebut, Anggota Komisi VI DPR RI, Herman Khaeron, menegaskan bahwa UU BUMN yang baru tidak memberikan kekebalan hukum kepada direksi perusahaan pelat merah.

Menurut Herman, UU BUMN yang baru tidak mengatur adanya hak impunitas bagi direksi. Dengan demikian, aparat penegak hukum tetap memiliki wewenang untuk menjerat direksi BUMN yang terbukti melakukan korupsi. Penjelasan ini disampaikan Herman di Gedung DPR RI pada Kamis (8/5/2025), sebagai respons terhadap kekhawatiran publik terkait potensi pelemahan penegakan hukum terhadap korupsi di lingkungan BUMN.

Lebih lanjut, politikus dari Partai Demokrat ini menghimbau semua pihak untuk membaca dan memahami secara komprehensif pasal per pasal dalam UU BUMN yang baru. Ia menekankan bahwa UU tersebut menegaskan direksi BUMN tetap tunduk pada sistem hukum yang berlaku di Indonesia, meskipun mereka tidak berstatus sebagai penyelenggara negara. Hal ini menjadi penting untuk menghindari kesalahpahaman dan interpretasi yang keliru terhadap UU BUMN.

"Memang UU menyebutkan bahwa pengelolaan BUMN itu adalah bukan penyelenggara negara, tetapi tidak terlepas dari sistem hukum lainnya," ucap Herman.

Herman menambahkan bahwa Indonesia sebagai negara hukum menjamin tidak ada seorang pun yang kebal terhadap hukum. Siapapun yang melanggar aturan hukum, termasuk direksi BUMN, dapat dijerat oleh aparat penegak hukum.

Sebelumnya, muncul kekhawatiran bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) tidak lagi memiliki wewenang untuk menangkap dan memproses hukum direksi BUMN setelah UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN berlaku. Kekhawatiran ini didasarkan pada dua pasal dalam UU BUMN, yaitu:

  • Pasal 3X Ayat (1): "Organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara"
  • Pasal 9G: "Anggota Direksi, Dewan Komisaris, dan Dewan Pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara"

Pasal-pasal tersebut menimbulkan interpretasi bahwa direksi BUMN tidak lagi termasuk dalam kategori penyelenggara negara yang menjadi obyek penindakan KPK. Padahal, Pasal 11 Ayat (1) UU KPK menyatakan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Menanggapi polemik ini, KPK menyatakan akan melakukan kajian mendalam terhadap penerapan aturan dalam UU BUMN tersebut. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, menyampaikan bahwa kajian tersebut akan melibatkan Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan untuk memahami dampak aturan baru terhadap penegakan hukum yang dapat dilakukan oleh KPK.

Tessa menambahkan bahwa KPK akan mengevaluasi sejauh mana perubahan aturan tersebut memengaruhi kewenangan KPK dalam menangani kasus-kasus korupsi yang melibatkan direksi BUMN. Jika direksi BUMN tidak lagi dianggap sebagai penyelenggara negara yang dapat ditangani oleh KPK, maka KPK tidak dapat melakukan penindakan.