Sidang Sengketa Pilkada Barito Utara: Eks Hakim MK Soroti Dugaan Politik Uang Rp 16 Juta Per Suara
Mahkamah Konstitusi (MK) kembali menggelar sidang sengketa hasil Pemungutan Suara Ulang (PSU) Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Barito Utara. Dalam sidang tersebut, mantan Hakim MK, Aswanto, dihadirkan sebagai ahli dari pihak pemohon, pasangan calon (paslon) nomor urut 1, Gogo Purnama Jaya-Hendro Nakalelo.
Fokus utama keterangan Aswanto adalah dugaan praktik politik uang yang masif dalam PSU Barito Utara. Aswanto menyatakan, jika dugaan politik uang yang dilakukan oleh paslon nomor urut 2, Akhmad Gunadi Nadalsyah-Sastra Jaya, terbukti, maka kasus ini berpotensi menjadi yang terbesar dalam sejarah pilkada di Indonesia. Nilai yang fantastis, mencapai Rp 16 juta per suara, menjadi sorotan utama.
"Apabila terbukti, menurut pandangan saya, ini merupakan nominal tertinggi sejak penyelenggaraan pilkada. Bayangkan, hingga Rp 16 juta per suara," ujar Aswanto dalam persidangan yang berlangsung di Gedung MK, Kamis (8/5/2025).
Aswanto menjelaskan bahwa kecenderungan dalam kontestasi pilkada saat PSU adalah upaya maksimal dari para kandidat untuk memenangkan suara. Mereka berupaya menghindari PSU lanjutan. Oleh karena itu, Aswanto menekankan perlunya putusan final dari MK terkait sengketa Barito Utara, tanpa perlu ada PSU lagi.
"Kita semua memahami bahwa ketika PSU dilaksanakan, terutama yang terbatas pada beberapa Tempat Pemungutan Suara (TPS), para kandidat akan berupaya sekuat tenaga. Hal ini sejalan dengan apa yang disampaikan oleh Prof. Guntur (Hakim MK). Saya berpendapat, kita harus segera mengakhiri situasi ini. Ini sangat berbahaya," tegasnya.
Ia menambahkan, "Bayangkan, jika setiap suara dihargai Rp 16 juta, Rp 10 juta, atau bahkan Rp 5 juta, betapa kasihan rakyat kita."
Menurut Aswanto, dugaan praktik politik uang ini memiliki korelasi erat dengan peningkatan partisipasi pemilih di Barito Utara saat PSU berlangsung. Aswanto menyimpulkan bahwa berdasarkan analisisnya terhadap dalil yang disampaikan oleh pemohon, tingkat partisipasi pemilih yang tinggi pada PSU tersebut sangat terkait dengan praktik money politic.
Perkara PSU Barito Utara, yang teregistrasi dengan nomor 313/PHPU.BUP-XXIII/2025, memuat pokok perkara yang menuding adanya kecurangan yang dilakukan oleh paslon nomor urut 2. Kecurangan tersebut berupa pembagian uang hingga Rp 16 juta per pemilih. Dugaan pelanggaran ini terjadi saat PSU yang dilaksanakan pada 22 Maret 2025 di TPS 1 Kelurahan Melayu Teweh Tengah dan TPS 4 Desa Malaweken Teweh Baru.
Berikut poin-poin penting yang disampaikan dalam sidang:
- Dugaan politik uang Rp 16 juta per suara.
- PSU Barito Utara berpotensi menjadi kasus politik uang terbesar dalam sejarah pilkada.
- Korelasi antara politik uang dan peningkatan partisipasi pemilih.
- Perlunya putusan final dari MK untuk menghindari PSU lanjutan.
Sidang sengketa ini menjadi sorotan publik karena implikasinya terhadap integritas proses demokrasi di Indonesia. Keputusan MK akan sangat menentukan arah politik di Barito Utara dan menjadi preseden bagi penanganan sengketa pilkada di daerah lain.