Strategi Kemenkeu Atasi Defisit Dividen BUMN Akibat Pengelolaan Danantara

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi tantangan baru dalam menjaga stabilitas Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) tahun 2025. Hilangnya potensi penerimaan dari dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN), yang sebelumnya menjadi salah satu pilar pendapatan negara, memaksa Kemenkeu untuk mencari sumber-sumber alternatif guna menutup defisit yang mungkin terjadi.

Perubahan signifikan ini dipicu oleh pengalihan pengelolaan dividen BUMN kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) mulai Maret 2025. Sebelumnya, dividen BUMN menjadi bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) dari Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) yang dialokasikan dalam APBN. Hingga akhir Maret 2025, realisasi dividen BUMN baru mencapai Rp 10,88 triliun, atau hanya 12,1% dari target yang ditetapkan, mengalami kontraksi sebesar 74,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya.

Plh Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Suahasil Nazara, menjelaskan bahwa pembayaran dividen interim dari BRI untuk tahun buku 2024 menjadi satu-satunya setoran dividen yang diterima sebelum implementasi Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 yang mengatur pengalihan pengelolaan dividen BUMN ke Danantara. Dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI, Suahasil mengungkapkan bahwa Kemenkeu telah menyiapkan sejumlah strategi extra effort untuk mengkompensasi hilangnya potensi penerimaan dari dividen BUMN. Fokus utama strategi ini adalah optimalisasi penerimaan dari sektor sumber daya alam (SDA) dan peningkatan kontribusi dari Kementerian/Lembaga (K/L).

Salah satu upaya yang dilakukan adalah perluasan integrasi proses bisnis dan penambahan komoditas dalam Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar Kementerian/Lembaga (SIMBARA). Integrasi SIMBARA diharapkan dapat meningkatkan kepatuhan dalam pelaporan dan pembayaran PNBP dari sektor pertambangan nikel dan bauksit. Selain itu, Kemenkeu juga memberlakukan kebijakan baru per 26 April 2025 terkait tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) serta PNBP produksi batu bara pada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Peningkatan tarif royalti ini diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap penerimaan negara.

Kemenkeu juga berupaya mengoptimalkan PNBP dari K/L melalui intensifikasi dan ekstensifikasi. Beberapa K/L yang menjadi fokus adalah Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Perhubungan, dan Kepolisian (terutama terkait plat nomor premium). Penegakan hukum di sektor lingkungan hidup (non SDA) oleh Kementerian Lingkungan Hidup juga diharapkan dapat meningkatkan penerimaan negara. Estimasi potensi penerimaan dari optimalisasi PNBP K/L berkisar antara ratusan miliar hingga Rp 1 triliun atau Rp 2 triliun.

Selain itu, Kemenkeu juga akan memperkuat proses bisnis dan program kolaborasi (joint program) untuk meningkatkan rasio pendapatan negara. Program kolaborasi ini melibatkan Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk meningkatkan kepatuhan wajib bayar atau wajib pajak, terutama di kalangan eksportir. Pertukaran data antara wajib pajak dan wajib bayar diharapkan dapat meningkatkan analisis dan identifikasi potensi penerimaan yang belum optimal. Kemenkeu telah memulai konektivitas data ini dan sedang memantau tingkat kepatuhan.

Upaya-upaya ini diharapkan dapat membantu mencapai target PNBP tahun 2025 yang ditetapkan sebesar Rp 513,64 triliun. Hingga 31 Maret 2025, realisasi PNBP mencapai Rp 115,9 triliun, atau 22,6% dari target. Kemenkeu optimis bahwa dengan strategi yang komprehensif dan implementasi yang efektif, target PNBP tahun 2025 dapat tercapai.