Direksi BUMN Terancam Jeratan Hukum Jika Terbukti Merugikan Negara Akibat Kelalaian atau Kesengajaan

Anggota Komisi VI DPR RI, Andre Rosiade, menegaskan bahwa jajaran direksi Badan Usaha Milik Negara (BUMN) tetap berpotensi menghadapi jeratan hukum apabila terbukti melakukan tindakan yang merugikan negara, baik karena kelalaian maupun kesengajaan. Penegasan ini muncul di tengah polemik terkait Undang-Undang (UU) BUMN yang baru, yang menimbulkan pertanyaan mengenai kewenangan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam mengusut dugaan korupsi di tubuh BUMN.

Andre menjelaskan, mekanisme business judgement rule (BJR) yang dianut dalam UU BUMN mengharuskan direksi yang menyebabkan kerugian negara untuk membuktikan bahwa kerugian tersebut bukan disebabkan oleh unsur kelalaian atau kesengajaan. Jika direksi tidak mampu membuktikan hal tersebut, maka proses hukum akan tetap berjalan.

"Sehingga mereka kalau merugikan negara wajib membuktikan bahwa tidak ada unsur kelalaian dan unsur kesengajaan. Tapi kalau tidak bisa membuktikan, tentu mereka diproses secara hukum,” ujar Andre saat ditemui di Gedung DPR RI.

Politikus dari Partai Gerindra ini juga membantah anggapan bahwa UU BUMN yang baru memberikan kekebalan hukum kepada direksi BUMN. Ia menekankan bahwa pemisahan aset BUMN dari kekayaan negara tidak serta merta menghalangi aparat penegak hukum untuk menindak jika ditemukan indikasi tindak pidana korupsi.

Lebih lanjut, Andre mengingatkan bahwa sejumlah BUMN masih menerima penugasan pelayanan publik atau public service obligation (PSO), yang berarti dana operasional mereka sebagian berasal dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hal ini semakin memperkuat dasar hukum bagi penegak hukum untuk mengawasi dan menindak jika terjadi penyimpangan.

"Jadi tidak benar bahwa BUMN, direksi BUMN, komisaris BUMN kebal hukum. Mereka bisa diproses secara hukum kalau mereka melakukan tindak pidana korupsi,” ungkap Andre.

Pernyataan Andre ini menanggapi kekhawatiran yang muncul setelah berlakunya UU Nomor 1 Tahun 2025 tentang BUMN. Beberapa pasal dalam UU tersebut, khususnya Pasal 3X Ayat (1) dan Pasal 9G, menimbulkan interpretasi bahwa organ dan pegawai BUMN tidak lagi berstatus sebagai penyelenggara negara.

Pasal-pasal ini menjadi sorotan karena UU KPK mengatur bahwa salah satu objek yang dapat diusut oleh KPK adalah penyelenggara negara yang melakukan tindak pidana korupsi. Pasal 11 Ayat (1) UU KPK menyebutkan bahwa KPK berwenang melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap tindak pidana korupsi yang melibatkan aparat penegak hukum, penyelenggara negara, dan orang lain serta/atau menyangkut kerugian negara paling sedikit Rp 1 miliar.

Menanggapi polemik ini, KPK menyatakan akan melakukan kajian mendalam terhadap penerapan aturan dalam UU BUMN tersebut. Juru Bicara KPK, Tessa Mahardhika Sugiarto, mengatakan bahwa kajian tersebut akan dilakukan oleh Biro Hukum dan Kedeputian Penindakan untuk melihat sejauh mana aturan baru tersebut akan berdampak pada kewenangan KPK dalam penegakan hukum.

"Tentunya dengan adanya aturan yang baru perlu ada kajian baik itu dari Biro Hukum maupun dari Kedeputian Penindakan untuk melihat sampai sejauh mana aturan ini akan berdampak terhadap penegakan hukum yang bisa dilakukan di KPK," kata Tessa.

Tessa menambahkan bahwa jika hasil kajian menunjukkan bahwa direksi BUMN tidak lagi termasuk dalam kategori penyelenggara negara yang dapat ditangani oleh KPK, maka KPK tidak akan dapat menangani kasus-kasus yang melibatkan mereka.