Implikasi Kemenangan Partai Buruh Australia bagi Indonesia: Analisis Kebijakan dan Dampak Regional

Hampir sepekan setelah pengumuman hasil Pemilu Australia, Partai Buruh mengamankan kemenangan signifikan, dengan Anthony Albanese kembali menjabat sebagai Perdana Menteri. Proses penghitungan suara masih berlangsung di berbagai daerah pemilihan di seluruh negeri. Perkembangan hasil pemilu ini menghadirkan dinamika menarik, termasuk beberapa kejutan tak terduga.

Salah satu kejutan terbesar adalah kekalahan Peter Dutton, pemimpin oposisi dari Partai Liberal, yang kehilangan kursinya di parlemen. Peristiwa ini memicu krisis kepemimpinan internal di tubuh Partai Liberal. Kejutan lain terjadi ketika pemimpin Partai Hijau, Adam Bandt, juga kehilangan kursinya di daerah pemilihan Melbourne. Partai Hijau, yang dikenal dengan fokus pada isu-isu lingkungan dan keadilan sosial, menjadi pilihan populer bagi warga Australia yang mencari alternatif di luar dominasi dua partai besar: Partai Buruh dan Partai Liberal.

Lantas, apa implikasi dari semua ini bagi Indonesia? Penting untuk mengamati dinamika politik dan demokrasi Australia, mengingat posisinya sebagai negara tetangga dekat Indonesia. Hasil pemilu dan iklim politik di Australia memiliki dampak langsung bagi warga Indonesia yang semakin tertarik untuk belajar dan bekerja di Australia melalui program Work and Holiday Visa (WHV). Dengan mayoritas di parlemen, Partai Buruh akan lebih mudah menerapkan kebijakan tanpa tekanan besar dari oposisi.

Kebijakan-kebijakan yang dijanjikan oleh Partai Buruh, seperti peningkatan layanan kesehatan melalui akses bulk billing dan kemudahan pembelian rumah pertama dengan uang muka 5%, menjadi perhatian utama. Namun, anggaran yang diajukan pada bulan Maret lalu menunjukkan bahwa pemerintahan Partai Buruh juga berencana memangkas jumlah pendatang, meningkatkan biaya student visa bagi siswa internasional, dan memperketat aturan bagi warga asing yang ingin membeli properti.

Sistem Pemilu Australia: Preferential Voting

Meski sama-sama negara demokrasi, Indonesia dan Australia memiliki perbedaan signifikan dalam sistem pemerintahan dan praktik pemilu. Di Australia, partisipasi aktif dalam pemilu bersifat wajib, dengan sanksi denda bagi yang tidak memilih. Fokus kampanye lebih tertuju pada kebijakan partai dan pemimpin, serta kemampuan mereka dalam menjawab masalah warga. Spanduk kampanye politik teratur tanpa melibatkan gelar akademik dan nama orang tua atau anak-anaknya.

Salah satu ikon demokrasi Australia adalah "democracy sausage," roti isi sosis yang dijual sukarelawan untuk amal di lokasi pemungutan suara. Yang paling menarik adalah sistem preferential voting, di mana pemilih menuliskan nomor sesuai urutan preferensi mereka pada kertas suara. Sistem ini memastikan suara warga tidak terbuang dan memberikan kesempatan bagi partai kecil dan kandidat independen untuk meraih suara signifikan.

Misalnya, dalam skenario pemilihan di daerah pemilihan Melbourne, pemilih harus menuliskan nomor 1, 2, dan 3 di samping nama kandidat sesuai preferensi mereka. Jika salah satu kandidat mendapatkan suara paling sedikit, suaranya akan didistribusikan ke kandidat lain berdasarkan preferensi pemilih. Proses ini berlanjut hingga seorang kandidat mencapai mayoritas.

'Trumpisme' dalam Pemilu Australia

Kekalahan telak Partai Liberal dalam pemilu Australia dapat dijelaskan melalui dua teori. Pertama, warga di daerah pemilihan Peter Dutton merasa perlu perubahan setelah 24 tahun diwakili oleh tokoh yang sama. Kedua, Peter Dutton dianggap meniru gaya Donald Trump dalam beberapa kebijakannya. Dutton mendapat julukan "Temu Trump" karena slogan kampanyenya yang dianggap mirip dengan "Make America Great Again" milik Trump.

Dutton juga dituduh anti-migran karena rencananya memangkas jumlah migrasi dengan alasan menyelamatkan warga Australia dari krisis lapangan kerja dan kepemilikan rumah. Selain itu, ia berencana memangkas layanan publik dan lebih memilih tenaga nuklir sebagai sumber energi terbarukan. Gaya ini dinilai mirip dengan efisiensi yang dilakukan Trump dengan membentuk Department of Government Efficiency. Hasil pemilu di Australia menunjukkan bahwa warga Australia tidak menginginkan sosok yang menyerupai Donald Trump sebagai pemimpin mereka.

Meski demikian, kemenangan Partai Buruh juga menuai kritik. Beberapa pihak berpendapat bahwa kemenangan ini bukan murni karena dukungan terhadap Partai Buruh, tetapi lebih karena penolakan terhadap Dutton dan Trump. Namun, Partai Buruh menegaskan bahwa fokus mereka untuk memerangi biaya hidup yang mahal dan mengembalikan layanan kesehatan yang mendasar adalah alasan utama warga Australia kembali mempercayakan partainya untuk memimpin.