Uji Formil UU BUMN Diajukan ke MK Terkait Proses Pembentukan yang Dianggap Tidak Libatkan Partisipasi Publik

Gugatan uji formil terhadap Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025 tentang Badan Usaha Milik Negara (UU BUMN) telah diajukan ke Mahkamah Konstitusi (MK) oleh dua mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Indonesia. Gugatan ini didasarkan pada dugaan bahwa proses pembentukan UU BUMN tersebut tidak melibatkan partisipasi publik yang memadai.

Dalam sidang pendahuluan yang digelar di Gedung MK, kuasa hukum para pemohon, Nicholas Indra Cyrill Kataren, menyampaikan bahwa pengesahan UU BUMN seharusnya dilakukan secara transparan dan terbuka, dengan melibatkan partisipasi bermakna dari berbagai elemen masyarakat. Ketidaklibatan publik dalam proses legislasi ini dinilai sebagai pelanggaran terhadap asas keterbukaan yang diamanatkan dalam Pasal 22A Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia (UUD NRI) Tahun 1945. Selain itu, pemohon juga menyinggung Pasal 5 huruf a, huruf e, huruf d, dan huruf f UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang mengharuskan terpenuhinya seluruh asas secara kumulatif.

Para pemohon berpendapat bahwa Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tidak mematuhi aturan pembentukan undang-undang yang berlaku, sehingga melanggar hak-hak konstitusional mereka. Mereka menganggap UU BUMN tidak sah karena tidak melalui prosedur pembentukan peraturan perundang-undangan yang sesuai dengan ketentuan yang berlaku.

Dalam petitumnya, para pemohon meminta kepada Mahkamah Konstitusi untuk menyatakan bahwa UU 1/2025 tentang BUMN tidak memenuhi ketentuan pembentukan peraturan perundang-undangan sebagaimana diamanatkan oleh UUD NRI Tahun 1945. Selain itu, mereka juga meminta agar UU 1/2025 dinyatakan bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945, sehingga tidak memiliki kekuatan hukum yang mengikat.

UU BUMN ini menjadi perhatian publik karena dikhawatirkan dapat menghilangkan wewenang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) dalam memproses hukum direksi BUMN yang terlibat dalam tindak pidana korupsi. Pasal 3X Ayat (1) UU BUMN menyatakan bahwa organ dan pegawai Badan bukan merupakan penyelenggara negara. Pasal 9G juga menyatakan bahwa anggota direksi, dewan komisaris, dan dewan pengawas BUMN bukan merupakan penyelenggara negara. Dengan tidak digolongkannya direksi BUMN sebagai penyelenggara negara, hal ini dapat menyulitkan KPK dalam melakukan penyelidikan, penyidikan, dan penuntutan terhadap mereka yang terlibat dalam kasus korupsi, mengingat kewenangan KPK dalam hal ini terbatas pada penyelenggara negara.