Indonesia Tegaskan Komitmen Hilirisasi di Tengah Ketidakpastian Geopolitik Global

Indonesia menegaskan tidak akan menyerah pada kebijakan hilirisasi, meskipun menghadapi tantangan geopolitik global yang semakin kompleks. Penegasan ini disampaikan oleh Ketua Umum DPP Partai Golkar, Bahlil Lahadalia, dalam sebuah diskusi bertajuk 'Arah Kebijakan Geostrategis dan Geopolitik Indonesia' di Jakarta.

Bahlil menekankan bahwa Indonesia tidak bisa lagi hanya bergantung pada konsensus global yang dinilai rapuh dan tidak konsisten. Ia mengajak masyarakat untuk memahami kelebihan dan kekurangan yang dimiliki Indonesia, serta membaca dinamika dunia yang berubah dengan cepat. Menurutnya, setiap negara saat ini berfokus pada pengamanan kepentingan domestiknya masing-masing.

Bahlil mencontohkan bagaimana beberapa negara mulai menarik diri dari komitmen pengurangan emisi dalam Paris Agreement. Hal ini menunjukkan bahwa konsensus global tidak lagi dapat diandalkan sepenuhnya. Ia juga menyoroti posisi strategis Indonesia di Asia Tenggara, sebagai negara dengan populasi terbesar keempat di dunia dan ekonomi terbesar di kawasan.

Indonesia memiliki kekayaan sumber daya alam yang menjadi incaran banyak negara untuk pengembangan industri hijau. Namun, penetrasi pasar global yang masih rendah dan keterbatasan teknologi menjadi tantangan besar yang harus diatasi. Bahlil mengingatkan sejarah panjang penjajahan yang membuat Indonesia hanya menjadi pengekspor bahan mentah. Keputusan untuk menghentikan ekspor nikel pada tahun 2019, meskipun digugat oleh Uni Eropa ke WTO, menunjukkan tekad Indonesia untuk tidak mengulangi kesalahan yang sama.

Kebijakan hilirisasi telah menjadikan Indonesia sebagai eksportir nikel terbesar di dunia. Hal ini membuktikan bahwa dunia mulai mengakui peran strategis Indonesia dalam rantai pasok global. Bahlil menegaskan bahwa Indonesia memiliki cadangan nikel terbesar di dunia, serta sumber daya lain yang penting untuk industri hijau seperti kobalt dan mangan. Ia menolak anggapan bahwa Indonesia adalah bangsa yang bodoh dan tidak mampu mengelola sumber dayanya sendiri.

Bahlil juga menyoroti pentingnya memperkuat daya beli masyarakat dan memastikan distribusi pendapatan yang adil. Pertumbuhan ekonomi Indonesia pada kuartal I 2025 masih sangat bergantung pada konsumsi domestik. Untuk mengamankan kepentingan nasional, keadilan sosial harus ditegakkan. Peningkatan pendapatan per kapita menjadi target yang harus dicapai, dan hal ini tidak dapat dipisahkan dari keberhasilan hilirisasi.

Bahlil menyadari bahwa kebijakan hilirisasi Indonesia akan membuat banyak negara maju merasa tidak nyaman. Namun, ia menegaskan bahwa Indonesia tidak akan menyerah dan akan terus melanjutkan kebijakan hilirisasi. Ia berharap hilirisasi menjadi bagian dari kesepakatan G20, dengan solusi konkret yang menguntungkan semua pihak.