Massa Aksi Kamisan Lantang Menolak Wacana Soeharto Jadi Pahlawan Nasional

Aksi Kamisan kembali digelar di kawasan Monas, Jakarta Pusat, pada hari Kamis (8/5/2025), dengan ratusan demonstran berpakaian hitam memenuhi area tersebut. Aksi ini menjadi wadah bagi para peserta untuk menyuarakan penolakan keras terhadap wacana pemberian gelar pahlawan nasional kepada mantan Presiden Soeharto.

Bertemakan "Marsinah Dibunuh karena Melawan", aksi ini juga menjadi momentum untuk memperingati 32 tahun wafatnya Marsinah, seorang aktivis buruh yang gigih memperjuangkan hak-hak pekerja. Isu ini semakin relevan dengan adanya pernyataan dukungan dari Presiden Prabowo Subianto terkait pengusulan Marsinah sebagai pahlawan nasional. Namun, di tengah dukungan tersebut, mencuat kembali wacana yang mengusulkan Soeharto, sosok kontroversial yang diwarnai berbagai macam pandangan, untuk menerima gelar serupa.

Penolakan terhadap wacana Soeharto menjadi pahlawan nasional terlihat jelas dari berbagai atribut yang dibawa oleh para peserta aksi. Sebuah bendera besar menampilkan gambar wajah Soeharto dengan tanda silang berwarna merah menyala, disertai tulisan tegas "Soeharto Bukan Pahlawan". Sebagai kontras, bendera lain dengan gambar wajah Marsinah dan tulisan "Pahlawan Itu adalah Marsinah" berkibar dengan gagah di tengah kerumunan massa.

Bagi para peserta aksi, Marsinah adalah simbol perjuangan buruh melawan ketidakadilan dan penindasan. Mereka menganggap Soeharto sebagai representasi rezim otoriter yang bertanggung jawab atas berbagai pelanggaran hak asasi manusia (HAM), termasuk kasus kematian Marsinah yang hingga kini masih menjadi luka mendalam bagi gerakan buruh dan aktivis HAM.

Rina Wulandari (29), seorang buruh yang turut serta dalam aksi tersebut, menyampaikan dengan lantang, "Dia dibunuh karena membela kami buruh. Jangan sampai sejarah dikaburkan. Yang pantas diberi gelar pahlawan ya orang yang rela mati demi rakyat, bukan yang menindas rakyatnya." Heru (34), seorang aktivis HAM yang juga hadir, menambahkan bahwa pemberian gelar pahlawan kepada Soeharto merupakan sebuah ironi sejarah yang pahit.

"Soeharto adalah simbol dari otoritarianisme, dan Marsinah adalah korbannya. Memuliakan Soeharto adalah mencederai sejarah dan para korban pelanggaran HAM," tegas Heru. Opini ini senada dengan semangat yang diusung oleh para peserta aksi, yang meyakini bahwa memberikan gelar pahlawan kepada Soeharto sama saja dengan mengkhianati memori para korban pelanggaran HAM di masa lalu.

Dalam aksi tersebut, dibagikan pula flyer yang menampilkan wajah Marsinah dengan latar merah putih, disertai keterangan, "Marsinah adalah buruh pabrik arloji yang dibunuh karena memperjuangkan hak pekerja." Flyer lain menekankan bahwa "Pemberian Gelar Pahlawan Nasional pantas diberikan pada Marsinah daripada Soeharto."

Sebagai bentuk penghormatan dan pengingat, sebanyak 61 foto buruh yang menjadi korban pelanggaran HAM turut dipajang dalam aksi ini. Hal ini bertujuan untuk memastikan bahwa perjuangan kelas pekerja tidak boleh dilupakan dan keadilan harus terus diperjuangkan.

Para peserta aksi tetap bertahan hingga sore hari, meskipun aksi dijadwalkan berakhir pada pukul 17.00 WIB. Keteguhan ini menunjukkan komitmen mereka terhadap penolakan wacana kontroversial tersebut dan tekad untuk terus menyuarakan kebenaran serta keadilan bagi para korban pelanggaran HAM.