DPR Menyerukan Evaluasi Tarif Cukai Rokok untuk Hindari Dampak Negatif pada Industri Tembakau

Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) melalui Komisi XI, mendorong Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan untuk melakukan peninjauan ulang terhadap kebijakan tarif cukai produk tembakau. Hal ini dilakukan sebagai upaya untuk menjaga keberlangsungan industri tembakau dan mengoptimalkan penerimaan negara.

Ketua Komisi XI DPR RI, Mukhamad Misbakhun, menyampaikan bahwa penerapan tarif cukai yang terlalu tinggi dapat menyebabkan kontraksi pada industri hasil tembakau. Ia mencontohkan, berdasarkan kunjungan kerja Komisi XI ke pabrik rokok Gudang Garam, ditemukan bahwa segmen Sigaret Kretek Mesin (SKM I) mengalami penurunan produksi yang signifikan.

"Selama ini kita berpihak ke Sigaret Kretek Tangan (SKT), tetapi sekelas Gudang Garam, untuk golongan Sigaret Kretek Mesin (SKM I) mengalami kontraksi yang luar biasa. Konstraksi luar biasa produksinya menurun tetapi di pasar tembakau ini habis," ujar Misbakhun.

Misbakhun menekankan pentingnya menganalisis kondisi yang dialami Gudang Garam dan mencari solusi yang tepat. Ia juga mempertanyakan apakah kondisi serupa dialami oleh pabrik rokok lainnya. Jika demikian, maka sistem tarif cukai yang selama ini diterapkan, yang cenderung menggunakan model kenaikan tarif tunggal dan dikenakan pada golongan SKM I, perlu dikaji ulang. Menurutnya, kebijakan tersebut dapat berdampak negatif pada produksi dan penerimaan cukai.

Secara terpisah, Perkumpulan Gabungan Perserikatan Pabrik Rokok Indonesia (Gappri) menyatakan dukungannya terhadap penyusunan Peta Jalan (Roadmap) kebijakan tarif cukai dan harga jual rokok eceran (HJE) untuk periode 2026-2029.

Ketua Umum Gappri, Henry Najoan, menyampaikan dua poin penting agar Peta Jalan tersebut efektif dan menciptakan iklim usaha yang kondusif:

  • Gappri meminta agar industri hasil tembakau (IHT) diberi waktu pemulihan dari tekanan rokok murah yang tidak jelas asal usulnya. Caranya adalah dengan tidak menaikkan Tarif Cukai Hasil Tembakau (CHT) dan Harga Jual Eceran (HJE) selama tahun 2026 hingga 2029.
  • Kenaikan tarif dapat dipertimbangkan pada tahun 2029, disesuaikan dengan kondisi pertumbuhan ekonomi atau inflasi.
  • Keterlibatan pemangku kepentingan terkait dalam penyusunan Peta Jalan sangat penting untuk memastikan keseimbangan yang inklusif dan berkeadilan antara aspek kesehatan, tenaga kerja IHT, pertanian tembakau dan cengkeh, peredaran rokok murah, dan penerimaan negara.

Henry berharap bahwa Peta Jalan yang dihasilkan dapat menjadi solusi untuk mengamankan pendapatan negara dari sektor cukai hasil tembakau, menjaga kelangsungan lapangan pekerjaan, menciptakan efek ganda dan nilai tambah, serta mengamankan investasi di industri ini.