Bawaslu RI Dorong Jeda Waktu Dua Tahun Antara Pilpres dan Pilkada pada 2029
Badan Pengawas Pemilihan Umum Republik Indonesia (Bawaslu RI) mengusulkan adanya jeda waktu selama dua tahun antara pelaksanaan pemilihan presiden (Pilpres) dan pemilihan kepala daerah (Pilkada) mulai tahun 2029. Usulan ini disampaikan terkait dengan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilu yang telah ditetapkan sebagai Prioritas Tahun 2025 oleh Panitia Kerja (Panja) Prolegnas RUU.
Ketua Bawaslu RI, Rahmat Bagja, menjelaskan bahwa usulan ini bertujuan untuk memberikan waktu yang lebih memadai bagi penyelenggara pemilu. Pengalaman Pemilu Serentak 2024 menunjukkan bahwa jarak waktu yang singkat antara Pilpres dan Pilkada memberikan tekanan yang besar bagi penyelenggara.
"Pelaksanaan pemilu dan pilkada di tahun yang sama, dengan hanya berbeda beberapa bulan, terasa sangat sempit bagi kami," ujar Rahmat Bagja di kantor Bawaslu RI, Jakarta, pada Kamis (8/5/2025).
Bawaslu RI mengusulkan agar Pemilu 2029 yang bersifat nasional dilaksanakan terlebih dahulu. Setelah itu, Pilkada di tingkat lokal dapat diselenggarakan pada tahun 2031. Jeda waktu ini diharapkan dapat memberikan "nafas" bagi penyelenggara pemilu.
Bagja menambahkan bahwa jeda waktu ini juga dapat berdampak positif pada partisipasi masyarakat. Partai politik juga dapat memanfaatkan waktu tersebut untuk melakukan sinergi dalam menentukan calon kepala daerah yang akan diusung.
Selain itu, Bawaslu RI juga mengusulkan model lain, yaitu pelaksanaan Pemilu Legislatif dan Pilpres secara serentak pada tahun 2029, diikuti dengan Pilkada satu atau dua tahun kemudian.
"Misalnya, pada tahun 2029, pemilihan anggota DPR, DPD, Presiden, DPD Provinsi, dan DPD Kabupaten/Kota dilaksanakan bersamaan. Kemudian, pada tahun 2030 atau 2031, baru dilaksanakan Pilkada Gubernur dan Bupati. Dengan demikian, ada masa jeda," jelas Bagja.
Bawaslu RI meyakini bahwa usulan ini akan memberikan dasar yang kuat untuk menyehatkan penyelenggaraan pemilu. Selain itu, partai politik juga akan memiliki ruang yang cukup untuk mempersiapkan calon terbaik untuk diusung dalam Pilkada.
"Pertimbangan fundamental dalam membentuk model kesehatan pemilu adalah perlindungan hak pilih dan menghindari kebingungan pemilih. Hal ini bertujuan untuk meningkatkan angka partisipasi, menekan jumlah surat suara tidak sah, dan mengurangi potensi kesalahan akibat terlalu banyak surat suara," terang Bagja.
Lebih lanjut, Bagja menekankan bahwa usulan ini juga akan menjamin perlindungan hak pilih bagi kandidat maupun partai politik. Partai politik akan memiliki waktu yang cukup untuk mempersiapkan diri menghadapi kontestasi, termasuk melakukan kaderisasi untuk pencalonan dalam pemilu.
Manfaat lain dari jeda waktu ini adalah beban kerja penyelenggara pemilu dapat lebih seimbang. Selain itu, fokus pengawasan dapat lebih terjaga, dan potensi pelanggaran dalam pengadaan dan distribusi logistik dapat diminimalkan.
"Waktu yang dibutuhkan oleh KPU untuk pengadaan dan distribusi logistik sangat terbatas pada Pemilu 2024. Seharusnya, waktu tersebut diperluas agar tidak terjadi distribusi logistik yang tertukar, terlambat, atau kurang," kata Bagja.
Terakhir, Bagja berharap bahwa usulan ini dapat menghindari kesalahan administratif dalam pemungutan, penghitungan, dan rekapitulasi suara. Dengan demikian, sistem hukum pemilu dapat ditegakkan dengan lebih baik di masa depan.