Polemik Penamaan Bale Jaya Dewata di Cirebon: Antara Penghormatan Leluhur dan Keterlibatan Masyarakat Lokal

Penamaan Gedung Negara Eks Keresidenan Cirebon menjadi Bale Jaya Dewata telah memicu perdebatan di kalangan budayawan dan pengamat sejarah Cirebon. Perubahan nama yang dinilai sepihak tanpa melibatkan partisipasi masyarakat lokal, terutama tokoh-tokoh pelestari budaya daerah, menjadi sorotan utama.

Gubernur Jawa Barat, Dedi Mulyadi, menanggapi kritik tersebut dengan menyatakan bahwa nama Jaya Dewata dipilih sebagai bentuk penghormatan kepada leluhur masyarakat Cirebon. Menurutnya, Jaya Dewata adalah nama lain dari Prabu Siliwangi, tokoh yang dianggap sebagai leluhur penting bagi masyarakat Cirebon.

"Nama Jaya Dewata itu kan nama Prabu Siliwangi dan Prabu Siliwangi itu kan leluhurnya orang Cirebon," ungkap Dedi Mulyadi usai menghadiri Musrenbang Provinsi Jawa Barat di Gedung Negara Bale Jaya Dewata.

Gedung tersebut kini difungsikan sebagai kantor Gubernur Jawa Barat untuk wilayah Pantura, yang meliputi Cirebon, Indramayu, Majalengka, dan Kuningan. Meskipun demikian, keputusan penamaan gedung tersebut menuai kritik karena dianggap kurang melibatkan unsur masyarakat Cirebon.

Jajat Sudrajat, seorang pemerhati sejarah dan budaya Cirebon, menyayangkan ketiadaan konsultasi dengan perwakilan keraton, pemerhati budaya, atau sejarah dalam proses penamaan. Menurutnya, hal ini menjadi pemicu polemik yang seharusnya bisa dihindari.

"Memang kantor itu milik Provinsi Jawa Barat, tetapi yang bikin saya kaget, kok tidak ada satu pun warga Cirebon yang diajak bicara, entah dari perwakilan keraton, pemerhati budaya, atau sejarah, sehingga tidak jadi polemik," ujar Jajat Sudrajat.

Dedi Mulyadi menjelaskan bahwa pemilihan nama tersebut didasarkan pada intuisi pribadinya sebagai pemimpin. Ia berpendapat bahwa ada hal-hal yang bersifat penamaan yang memerlukan pertimbangan intuitif.

"Terkait tidak dilibatkan, gini, kan ada hal-hal yang bersifat penamaan. Saya juga punya intuisi yang harus saya terapkan," kata Dedi Mulyadi.

Namun, Dedi juga mengajak masyarakat untuk lebih fokus pada substansi, seperti pengelolaan dan perawatan gedung yang sebelumnya terbengkalai. Ia menekankan pentingnya bersikap kritis dan objektif dalam menanggapi setiap hal, serta menghindari perdebatan terhadap hal-hal yang sebenarnya baik.

"Harusnya yang menjadi sorotan itu adalah ketika gedung ini dulu tidak diurus. Kenapa waktu gedungnya kumuh, tidak terawat, gelap, tidak ada yang mengomentari? Mari kritis terhadap setiap hal, harus objektif. Jangan mengkritisi hal yang sebenarnya baik, tetapi diributin," imbuhnya.

Di sisi lain, Jajat Sudrajat mengkhawatirkan potensi kebingungan historis akibat penggunaan nama Jaya Dewata. Ia menjelaskan bahwa Jaya Dewata adalah nama muda dari Raden Pamanah Rasa, yang kemudian dikenal sebagai Prabu Siliwangi. Menurutnya, Prabu Siliwangi belum pernah memiliki keterkaitan langsung dengan Cirebon.

"Prabu Siliwangi belum pernah menginjakkan kaki di Cirebon sehingga penamaan tersebut kurang tepat," jelas Jajat Sudrajat.

Sebagai alternatif, Jajat mengusulkan nama-nama yang lebih relevan dengan sejarah lokal Cirebon, seperti Panembahan Losari atau Pangeran Suci Manah. Usulan ini diajukan dengan harapan dapat memberikan identitas yang lebih kuat dan representatif bagi gedung tersebut.