Alih Kelola Dividen BUMN ke Danantara, Kemenkeu Susun Strategi Baru Pertahankan Penerimaan Negara

Kemenkeu Cari Solusi Atasi Hilangnya Potensi Dividen BUMN

Kementerian Keuangan (Kemenkeu) menghadapi tantangan baru dalam menjaga stabilitas penerimaan negara. Hal ini menyusul pengalihan pengelolaan dividen Badan Usaha Milik Negara (BUMN) kepada Badan Pengelola Investasi Daya Anagata Nusantara (Danantara) mulai Maret 2025. Dampaknya, Kemenkeu berpotensi kehilangan sumber penerimaan signifikan yang sebelumnya berasal dari dividen BUMN, yang pada tahun 2025 ditargetkan mencapai Rp 90 triliun.

Sebelumnya, dividen BUMN menjadi bagian dari Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP) Kekayaan Negara Dipisahkan (KND) yang masuk dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN). Hingga 31 Maret 2025, realisasi PNBP dari dividen BUMN baru mencapai Rp 10,88 triliun, atau hanya 12,1% dari target, serta mengalami kontraksi sebesar 74,6% dibandingkan periode yang sama tahun sebelumnya (year-on-year).

Plh Direktur Jenderal Anggaran Kemenkeu, Suahasil Nazara, menjelaskan bahwa penurunan ini disebabkan oleh pemberlakuan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2025, yang secara resmi mengalihkan pengelolaan dividen BUMN ke Danantara. Hal ini disampaikan dalam Rapat Dengar Pendapat (RDP) dengan Komisi XI DPR RI pada Kamis (8/5/2025).

Strategi Intensifikasi dan Ekstensifikasi Penerimaan

Menghadapi situasi ini, Kemenkeu telah menyiapkan sejumlah strategi extra effort untuk menutupi potensi kehilangan penerimaan dari dividen BUMN. Fokus utama adalah optimalisasi penerimaan dari sektor Sumber Daya Alam (SDA) serta kementerian dan lembaga (K/L).

"Beberapa strategi extra effort tersebut kami maksudkan untuk memperbaiki kepatuhan," ujar Suahasil, yang juga menjabat sebagai Wakil Menteri Keuangan.

Beberapa langkah konkret yang akan diambil antara lain:

  • Perluasan dan Integrasi SIMBARA: Kemenkeu akan memperluas integrasi proses bisnis dan menambah komoditas dalam Sistem Informasi Mineral dan Batubara Antar K/L (SIMBARA). Tujuannya adalah meningkatkan kepatuhan pelaku usaha di sektor pertambangan, khususnya nikel dan bauksit, yang diharapkan berdampak positif pada peningkatan penerimaan negara.
  • Implementasi Kebijakan Royalti Minerba: Kebijakan terkait tarif royalti mineral dan batu bara (minerba) serta PNBP produksi batu bara pada Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) yang berlaku sejak 26 April 2025 diharapkan dapat meningkatkan penerimaan. Kemenkeu akan melakukan pemantauan secara khusus terhadap efektivitas kebijakan ini.
  • Optimalisasi PNBP K/L: Intensifikasi dan ekstensifikasi PNBP dari berbagai K/L juga menjadi fokus. Setidaknya empat K/L menjadi perhatian, yaitu Imigrasi dan Pemasyarakatan, Kementerian Perhubungan, Kepolisian (terutama terkait pelat nomor premium), serta penegakan hukum di sektor lingkungan hidup (non SDA) oleh Kementerian Lingkungan Hidup.

    Meskipun estimasi penerimaan dari upaya ini belum terlalu besar, diharapkan dapat memberikan kontribusi signifikan terhadap PNBP secara keseluruhan. * Penguatan Kepatuhan dan Perluasan Basis Penerimaan: Kemenkeu akan memperkuat proses bisnis dan program kolaborasi (joint program) untuk meningkatkan rasio pendapatan negara. Salah satu inisiatifnya adalah kolaborasi antara Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai untuk meningkatkan kepatuhan wajib bayar atau wajib pajak.

    Melalui pertukaran data antara wajib pajak dan wajib bayar, khususnya di sektor ekspor, Kemenkeu dapat melakukan analisis yang lebih komprehensif dan meningkatkan kepatuhan.

Dengan berbagai upaya ini, Kemenkeu berharap dapat mencapai target PNBP tahun 2025 sebesar Rp 513,64 triliun. Hingga 31 Maret 2025, realisasi PNBP telah mencapai Rp 115,9 triliun, atau 22,6% dari target.