Kisah George Leitmann: Antara Trauma Perang Dunia II, Holocaust, dan Pertanyaan Abadi tentang Kemanusiaan

Trauma Perang Dunia II: Kisah George Leitmann, Saksi Mata Kekejaman Nazi

George Leitmann, seorang veteran Perang Dunia II dan penyintas Holocaust, menyimpan luka mendalam dari pengalamannya di medan perang dan kengerian Nazi. Kenangan pahit itu terus menghantuinya hingga usia senja.

Saat berusia 19 tahun, Leitmann tiba di Eropa pada musim semi 1945 sebagai bagian dari Batalion Zeni ke-286 Angkatan Darat Keenam AS. Ia menyaksikan langsung sisa-sisa pertempuran sengit dan kegigihan pasukan Wehrmacht dan SS dalam mempertahankan rezim Nazi yang runtuh. Salah satu momen paling mengerikan yang membekas dalam ingatannya adalah ketika pasukannya menemukan sekelompok anak laki-laki berusia 10-12 tahun yang digantung di pinggiran kota.

Penduduk setempat mengungkapkan bahwa anak-anak itu dipaksa oleh anggota Waffen-SS untuk menggunakan pelontar granat melawan tank Amerika. Ketika tank benar-benar datang, mereka melarikan diri, dan sebagai hukuman, SS menangkap dan menggantung mereka. Leitmann menggambarkan peristiwa itu sebagai pembunuhan anak-anak oleh bangsa mereka sendiri, sebuah contoh dari "kejahatan tahap akhir" yang dilakukan Nazi terhadap warga sipil Jerman yang dianggap tidak setia.

Keraguan akan Kemanusiaan dan Pencarian Jawaban

Pengalaman itu mengguncang keyakinan Leitmann terhadap kemanusiaan. Ia mempertanyakan bagaimana orang bisa melakukan kekejaman seperti itu, dan motivasi irasional dari SS terus menghantuinya.

Sebagai seorang Yahudi Austria yang melarikan diri dari Nazi, Leitmann memiliki pengalaman pribadi dengan persekusi. Keluarganya berhasil mendapatkan visa ke AS pada tahun 1940, tetapi ayahnya tidak dapat bergabung dengan mereka dan kemudian dieksekusi oleh tentara Jerman di Yugoslavia karena menjadi seorang Yahudi.

Setelah perang, Leitmann menjadi profesor teknik di Universitas California, Berkeley. Namun, masa lalunya terus membayangi. Ia merenungkan bagaimana bangsa Jerman yang berpendidikan bisa berubah menjadi begitu jahat dalam waktu singkat. Pertanyaan-pertanyaan moral ini terus berputar dalam benaknya, terutama ketika ia bertemu dengan orang Jerman.

Keputusan Leitmann untuk bergabung dengan militer AS didorong oleh patriotisme dan keinginan untuk menemukan ayahnya. Pengalamannya di kamp konsentrasi Kaufering, bagian dari kompleks Dachau, semakin memperdalam traumanya. Ia menyaksikan mayat-mayat berserakan dan merasakan kengerian "pemusnahan lewat pekerjaan".

Peringatan di Usia Senja dan Kekhawatiran akan Masa Depan

Sebagai anggota kehormatan yayasan peringatan Holocaust, Leitmann terus berbagi pengalamannya untuk memperingatkan tentang bahaya ideologi fasis. Ia выразил keprihatinan tentang kebangkitan ekstrem kanan di Jerman dan AS, serta invasi Rusia ke Ukraina.

Ia terkejut dengan terpilihnya Donald Trump sebagai presiden dan mengkhawatirkan dukungan terhadap gagasan-gagasan fasis oleh sebagian masyarakat. Ia percaya bahwa menyalahkan kelompok tertentu atas masalah adalah resep untuk bencana.

Menjelang ulang tahunnya yang ke-100, Leitmann bersyukur atas cinta, pengalaman, dan orang-orang hebat yang ia temui dalam hidupnya. Namun, ia juga mengakui beban usia tua dan luka masa lalu yang tak pernah hilang. Ia terus membayangkan detik-detik terakhir ayahnya, seorang korban tak bersalah dari kebencian Nazi.

Kisah George Leitmann adalah pengingat yang kuat akan kengerian perang, bahaya ideologi ekstremis, dan pentingnya menjaga kewaspadaan terhadap kembalinya kekejaman dan ketidakpedulian.